Bab 1

34.4K 1.4K 53
                                    

Putaran roda motor Rania semakin melambat. Gadis yang tengah mengenakan jaket merah maroon itu menangkap pemandangan ganjil tak jauh di depannya. Tanpa banyak berpikir, Rania menyalakan lampu jarak jauh dan menyoroti dua orang yang saling merangkul di pinggir jalan. Bulu kuduknya berdiri. Siapa yang akan tenang jika menjelang magrib dan cahaya matahari mulai meredup seperti ini, tapi dirinya malah melihat pose aneh dari sepasang pria dan wanita? Kepanikan tiba-tiba melanda Rania ketika dirinya sadar akan keberadaannya saat ini.

"Aduh, kalau mereka setan, gimana?" gumam Rania sambil melajukan motornya yang semakin lambat. Matanya melebar dan ia mencoba mengerjapkan beberapa kali. "Nggak mungkin kalau setan. Itu napak, itu. Aduh! Atau... begal?" Mata Rania melebar sempurna dan ia langsung mengerem motor maticnya.

Keinginan Rania saat ini adalah belok dan kembali ke jalan raya. Salahnya juga melintasi jalan yang tidak biasa ia lalui. Namun, Rania pun tak ingin sepenuhnya menyalahkan diri. Ia menyalahkan acara bekakak yang membuat beberapa jalan ditutup. Walaupun sebenarnya salah Rania yang tidak mengingat tanggal-tanggal perhelatan acara tradisional di daerahnya.

"Tolong...."

Rania yang tengah bergelut dengan pikirannya dan berusaha untuk berbelok di jalanan terjal bebatuan itu, merasa kasihan sekaligus takut. Sekali lagi dirinya memperhatikan sepasang pria dan wanita yang berjalan tertatih. Kemudian, si pria mendudukkan wanita di tanah dan langsung berlari ke arah Rania.

"Aduh... aduh... aduh... dia malah ke sini lagi." Tangan Rania gemetar hebat. Pikirannya sudah mengelana ke arah yang tidak-tidak. "Pak, Bu, Rania belum kasih kalian cucu. Gimana ini? Masa Rania mati sekarang? Mati itu kan sakit."

Pria tadi sudah berjarak sangat dekat dengan Rania dan hal pertama yang menarik perhatian gadis itu adalah darah di lengan dan juga kaus lusuh yang pria itu kenakan. Apa dia baru saja melukai wanita itu? Aduh, kalau aku ngegas, ada kemungkinan aku jatuh, nabrak pohon, ikut dilukai bapak ini. Gimana ini?

"Mbak, tolong." Pria yang hanya memakai satu sandal di kakinya itu tampak sangat nelangsa. Kepanikan, pengharapan, dan kesedihan terpancar dari ekspresi di wajahnya. Tiba-tiba pria itu menyatukan kedua tangan dan berlutut. "Saya mohon tolong istri saya, Mbak. Dia mau melahirkan."

"Ha? Melahirkan?" Rania memelotot dan langsung panik. Ia kembali berbelok ke jalur awal tujuannya. "Kenapa Bapak tidak bilang dari tadi? Mari naik, Pak." Udah bikin takut juga. Ampun, deh.

Rania menghela napas panjang.

Ketika mereka sudah sampai di dekat istri pria lusuh tadi, Rania langsung mematikan mesin motor dan melepas helm. Ia setengah berlari mendekati wanita hamil yang tengah meringis kesakitan itu.

"Mbak, istri saya ini tadi kepeleset setelah menimba air di sumur," lapor pria yang kini telah berada di samping istrinya dan tengah membantu istrinya berdiri.

"Aduh, hape saya malah mati lagi. Bapak atau Ibu ada hape?"

Kedua orang di hadapan Rania menggeleng. Pria itu menyeka keringat di kening istrinya, kemudian menjawab, "Kita tidak sanggup beli, Mbak."

Rania mengusap wajah, kemudian menyibakkan rambut dan poninya ke belakang. Gadis itu kembali menghela napas panjang. "Pak, Bu, di sekitar sini ada puskesmas atau klinik?"

"Bidan di sekitar sini sedang tidak di rumah, Mbak. Kalau puskesmas masih jauh, ke sana." Pria itu menunjuk ke arah jalan yang Rania lalui tadi.

"Em...." Rania melihat aliran darah di paha wanita yang tidak ia kenali itu. Ada rasa kasihan bercampur kepanikan yang menyerangnya. Kemudian, ia mengepalkan tangan dan berkata, "Apa Ibu bisa membonceng motor saya? Masih kuat berpegangan?"

Kontrak ✅Where stories live. Discover now