23# Kenapa Kau Menangis?

10.6K 1.1K 177
                                    

#Hai... hai... ini musimnya pilek. Hidung tersumbat, sinyal tersumbat, dan gorong-gorong juga tersumbat. Jadi jaga kesehatan kalian. Jangan lupa vote untuk Ridan dan Kaylita, supaya inspirasi saya tidak tersumbat untuk mereka, hahaha... happy reading.#

~*~

Hari ini benar-benar melelahkan. Ia harus melakukan dua operasi besar di rumah sakit dan sekarang rasanya sudah tidak punya tenaga, bahkan untuk tetap membuka matanya di belakang kemudi. Harusnya ia menelpon Tarji, tadi. Laki-laki muda itu bisa datang ke rumah sakit dan mengemudikan mobilnya pulang, sementara ia bisa tidur sejenak di kursi penumpang.

Tetapi ia akhirnya mengemudi sendiri, dan bersyukur sekarang sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Setidaknya beberapa menit lagi ia bisa bergelung di perpustakaannnya tanpa seorangpun mengganggu.

Tarji membukakan pintu gerbang dan mengangguk dengan senyum saat Ridan meluncur masuk. Tetapi perhatian dokter itu tertambat oleh sebuah mobil lain yang terparkir manis di tempat mana seharusnya mobilnya berada.

Kenapa Tarji membiarkan mobil lain memakai carport-nya?

"Siapa yang datang?" tanyanya pada si sopir yang menyongsongnya dengan ekspresi bersalah setelah Ridan memarkir mobilnya sembarangan saja di tengah halaman.

"Pak Alex... datang untuk bertemu Bu Kaylita."

Alex? Tampaknya kini dia membawa sesuatu. Tapi selama ini? Biasanya Alex sangat efisien dalam bekerja sehingga Ridan bisa memperoleh informasi yang dibutuhkannya dalam waktu singkat. Kabar apakah yang sudah dibawanya? Kabar baik? Tentang anak Kaylita?

Baru saja langkah kakinya menapaki teras, pria yang sedang dipikirkannya itu muncul di pintu sambil tergesa-gesa memasukkan beberapa berkas ke dalam tasnya.

"Alex?"

"Oh... Pak Ridan..." pria yang lebih muda itu mengulurkan lengan untuk sebuah jabat tangan yang akrab di antara mereka. Hubungan kerja yang cukup lama dan usia yang tidak terpaut jauh membuat mereka menjadi sahabat tanpa sengaja.

"Kau sedang tergesa-gesa? Aku dengar kau datang untuk bertemu Kaylita?" Ridan melihat kerisauan di wajah pemuda itu, dan batinnya menjadi tidak enak.

"Iya... benar..."

"Bagaimana keadaan putranya? Dia baik-baik saja, kan?"

"Oh, baik... putranya baik-baik saja... tapi ada sesuatu yang merisaukan Bu Kaylita sekarang ini... Saya harus segera pergi untuk memastikan sesuatu."

Mereka mengucapkan kata-kata perpisahan dan Alex pergi bergegas menuju mobilnya sementara Ridan melanjutan langkah memasuki rumah. Namun baru saja ia melewati pintu dan menyeberangi separuh foyer, pandangannya seketika jatuh pada pengasuh putrinya yang duduk sendirian di ruang tamu. Wanita itu menunduk. Rambutnya yang panjang jatuh seperti tirai di sisi wajah sehingga Ridan tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas. Tetapi ketika kemudian wanita itu mengangkat tangan kiri menyibakkan sisi rambut melewati belakang kepala, Ridan langsung menangkap suara isak tangisnya. Wajah gadis itu sembab oleh air mata, dan hidungnya memerah karena menangis.

Entah tangan apa yang tiba-tiba meremas isi dadanya hingga terasa begitu sakit. Ridan tidak pernah tahan melihat wanita menangis. Ia akan merasa sangat jengkel atau merasa sangat kasihan hingga harus pergi dari tempatnya berada. Tetapi rasa penasaran akan apa yang menyebabkan Kaylita menangis membuat Ridan tidak bisa beranjak, hingga akhirnya wanita itu menyadari kehadirannya. Mereka saling bertatap mata untuk beberapa detik, dan Ridan dapat menangkap pandangan wanita itu yang memerah oleh kesedihan dan kemarahan. Apa yang membuatnya tampak begitu terluka?

Detik berikutnya Kaylita sudah meraup semua berkas yang tertebar di hadapannya dan beranjak setengah berlari menuju tangga ke arah kamarnya sendiri, meninggalkan Ridan terpaku di muka pintu.

NURSING CONTRACT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang