Prolog

24.5K 1.6K 29
                                    

Kau tak akan tahu rasanya meskipun kuterjemahkan dengan eksplisit. Kau hanya bisa mendengar dan membayangkan, tanpa benar-benar merasakan. Atas rasa ini, aku sendiri tak tahu harus bersyukur atau malah merutukinya.

-Yuva-

Oh man… Gue nggak dibayar buat motret model amatiran dan susah diarahkan.”

Aku menghela napas panjang. Sabar… sabar… sabar…. Sabar atau lo disemprot sama raja sengak di depan lo! Lihat saja, tanduknya sudah keluar semua!

Dengan hati yang masih mendongkol, kugerakkan tubuhku untuk bergaya sesuai permintaan si perfeksionis-tuan-fotografer. Ah, benar-benar annoying! Semuanya harus so damn perfect! Dia tak tahu saja kalau aku sudah mengerahkan segala kemampuanku untuk menuruti keinginannya, tapi memang dasarnya aku tak ada bakat dan minat yang dipaksakan, jadi semua yang kulakukan terlihat payah di lensa kameranya. Beruntung dia tampan. Kalau tidak, aku pasti tak perlu berpikir dua kali untuk mencakar-cakar mukanya.

Yuva, fokus! Jangan melamun!” Suara teriakan itu lagi. Aku hampir saja melonjak kaget karenanya.

Aku kembali bergaya di depan kamera. Syukurlah, kali ini lebih lancar daripada tadi. Kalau tidak, mungkin keluar studio aku harus langsung menyambangi dokter THT.

“Oke, cukup untuk hari ini. Kalian semua bisa bersiap-siap pulang dan beristirahat.”

Aku tak bisa menahan helaan napas panjang setelah mendengar deretan kalimat itu. Benar-benar lega. Segera aku melangkah menuju ruang make up untuk membersihkan wajah dan membereskan barang  yang tak seberapa. Aku bukanlah model pro yang memiliki banyak asisten atau manajer untuk mengatur keperluanku, satu pun aku tak punya. Mengenaskan? Tidak juga! Jam terbangku tidak begitu padat, dan aku masih bisa mengatur semuanya sendiri.

“Lo benar-benar harus lebih banyak berlatih tentang ekspresi dan gaya, Yuva. Percuma wajah cantik kalau tidak bisa diarahkan di depan  kamera. Model seperti itu tidak berguna!”

Sekuat tenaga kutahan keinginan untuk mencabik-cabik fotografer menyebalkan itu. Bagaimana bisa dia masih mengritikku setelah sesi pemotretan selesai? Apa dia tak cukup puas mengomeliku sepanjang hari ini? Telingaku juga butuh istirahat dari kata-kata pedasnya!

“Iya, saya mengerti.” Hanya jawaban itu yang bisa aku berikan. Yah, ini lebih baik karena aku sudah sadar kalau tak bisa mengungguli omongannya.

“Lo juga bisa belajar dari model senior di agensi. Bukankah dari mereka malah sudah ada yang go international?”

Ya Tuhan… Sampai kapan dia akan bicara?

Baru saja aku ingin membalas perkataannya, ponselku berbunyi. Oh thanks for my phone! Aku meminta izin kepada Yoga untuk mengangkat telepon. Semoga saja yang meneleponku ini cerewet sehingga aku bisa berbicara dengannya lama.

Suara pertama yang kutangkap saat mengangkat telepon adalah kacau! Dentuman musik, teriakan, omongan tak jelas, dan suara cempreng si penelepon... April!

Yuva…” Bagai suara petir di tengah tidur cantik, aku kaget sekaget-kagetnya. Astaga, mungkin April lupa manner dalam berbicara di telepon. Kalau bertemu, aku harus mengingatkatnya untuk itu!

Yuva, hallo Yuva? Lo masih hidup?

“Emmm ya.... Gue terlalu shock dengar suara lo yang  seperti lolongan serigala.”

Duh please deh. Gue begini karena terlalu senang saja kok.” Bela April.

Kuputar mataku.  Senang teriak, sedih teriak, galau teriak, susah teriak. Memangnya kapan  April tak heboh? “So, what’s  up?”

To Be With You (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang