17. Apa Kalian Punya Hati?

13.2K 1.2K 83
                                    

17. Apa Kalian Punya Hati?

Author's note (boleh dilewati karena ini curhatan)

I'm so sorry for posting this chapter after 3 months. I know it's too late, very late. Saya ada kewajiban buat laporan PPL setelah praktek mengajar, laporan KKN setelah 43 hari melakukan pengabdian, dan mengurus pengajuan topik skripsi. Ngomong-ngomong soal ngajar dan sekolah, I had so much fun.

Warning : Mohon dibaca perlahan bab ini. Bukan karena ceritanya pelik tapi karena saya sudah lama nggak nulis, jadi kali aja ini aneh banget. Feel free buat memberi kritik disertai alasan dan saran ya. To be honest, saya suka dikritik tapi saya nggak suka asal dikritik tanpa saya tahu letak kesalahan saya. Saya juga nggak perlu dipuji (halah kayak ada yang mau muji -_-)

Happy reading!

Cokelat panas yang tadi kupesan sudah tidak mengepulkan asapnya. Mungkin karena hari ini sedang hujan, sehingga proses pendinginan lebih cepat. Atau mungkin juga aku terlalu lama mendiamkannya demi mendengar penjelasan dari Bruno.

Kuhela napas panjang. Kalau tidak salah aku baru meminum tiga teguk cokelat, tapi rasanya perutku sudah penuh. Berhadapan dengan cangkirku, terdapat cangkir kopi Bruno yang masih setengah. Sepertinya bercerita panjang lebar juga tak membuatnya haus. Kuangkat tubuhku dari kursi kayu untuk keluar. Aku tidak bisa lebih lama di sini karena masih banyak hal yang harus kukerjakan. Lagipula, Bruno sudah pulang setengah jam yang lalu.

Di depan restoran, aku menghindarkan mataku dari rintikan hujan menggunakan tangan. Kuedarkan pandangan untuk mencari taksi yang lewat, tapi setelah sepuluh menit aku menunggu ternyata tak kunjung ada. Lebih baik kutunggu di dalam restoran saja tadi. Lelah berdiri, aku berlari menuju mini market samping restoran untuk duduk di kursi terasnya. Aku akan memesan kopi di sana sambil memesan taksi.

Memasuki mini market, tubuhku menggigil. Pantas saja, aku terkena siraman air hujan dan setelahnya langsung memasuki ruang full AC. Tak ingin berlama-lama, aku segera menuju bagian minuman sachet. Pilihanku jatuh pada kopi putih yang memang ramah dengan kondisi lambung.

***

"Yuva,"

Hampir saja tanganku terkena air panas karena kaget mendengar panggilan. Bukannya aku terkejut namaku dipanggil, tapi si pemanggillah yang membuatku terganggu. Demi menjaga kesopanan -mengingat kami sedang berada di tempat umum- aku melemparkan senyum tanpa berniat membalas sapaannya.

Kupejamkan mata sebentar untuk meredam emosi, sebelum kemudian menuju ke bagian kasir. Jangan terpancing... Jangan terpancing... Susah payah aku mensugesti diri sendiri sambil mengantre.

"Lo menghindari gue?" Yoga berdiri tepat di belakangku, membuatku mendengar bisikannya.

Kubalikkan badan. "I do what I have to do." Balasku dengan suara lirih pula. Aku tidak cukup gila untuk memancing keributan di tempat umum.

Tapi sepertinya Yoga tidak berpikir demikian. Suka-suka dia saja. Bukankah selama ini dia selalu bertindak seenaknya, termasuk saat ini. Dengan seenaknya dia mengambil cup kopiku untuk dibayarnya. Aku tak mencegah. Sekali lagi kutekankan, biarkan saja! Aku tidak akan mengajaknya berebut cup kopi.

Sebagai balasannya, aku meninggalkan dia lebih dahulu untuk keluar. Memangnya apa lagi? Berdiri di sampingnya selagi dia membayar? Kami bukan pasangan, aku tak akan melakukan itu.

Aku duduk di kursi paling ujung kanan karena letaknya yang sedikit tertutup. Jika saja cuaca hari ini terang, sudah dipastikan aku akan langsung meninggalkan mini market daripada berhadapan dengan Yoga. Tapi melihat hujan yang malah semakin deras, aku jelas tidak akan melakukannya.

To Be With You (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang