30. Cemburu

9K 859 65
                                    

30. Cemburu

Ps. Bantu saya kumpulin typo, kejanggalan, dan sejenisnya ya. Suatu saat di masa depan pasti akan saya benerin kok. :)

Happy reading!

Begitu turun dari taksi, aku mendapati Bruno yang berdiri di depan gerbang kosku. Keningku berkerut mengamati profilnya. Wajah yang biasanya terlihat segar dengan binar jahil di mata, kini terlihat kuyu dan berantakan karena bakal jenggot yang memenuhi dagu dan rahang. Dan yang paling kentara sekaligus menganggu mata adalah rambutnya. Ia biasa memotong rambutnya dengan model undercut dan disisir rapi ke ke belakang, bukan acak-acakan seperti ini dan ditahan dengan bandana.

Dasar anak ekonomi gadungan! Pasti dia menjadi si buruk rupa di fakultas kami kalau dandanannya macam itu.

"Hai,"

Wajahnya semakin terlihat kacau saat ia menyapaku. Cekungan hitam di sekitar mata yang tadi kulewatkan, kini terlihat jelas.

Kuhela napas panjang. Apalagi ini, Tuhan? Kupikir aku bisa langsung istirahat saat sampai kos, ternyata masih ada tamu sekarat yang harus kuhadapi.

Tanganku bersidekap di depan dada sambil kutatap ia lekat-lekat. "Bruno, gue ca–"

"Bisa kita bicara?"

Suaranya terdengar serak. Berapa lama laki-laki ini tidak tidur?

"Please?"

Aku pasrah. Kalau sudah begini, mana mungkin aku tega menolaknya.

"Oke. Tapi jangan di sekitar kampus!"

Aku bersyukur saat Bruno langsung menyetujui tanpa bertanya alasannya apa. Atau mungkin dia sudah tahu kalau aku tidak nyaman dengan kehadirannya di kosku? Terserahlah. Yang jelas aku masih menghindari pertemuan dengan laki-laki manapun –selain keluarga –di lingkungan kampus. Berita di media memang sudah tidak seheboh minggu lalu, tetapi respon dari anak kampus dan tetangga tetap sama saja. Aku jengah.

***

"Lo, oke?" adalah pertanyaan pertamaku setelah selesai menikmati hidangan di rumah makan padang yang letaknya memang jauh dari lingkungan kampus.

Bruno melirikku sekilas. Ia kembali memakan ayamnya yang masih secuil dan meminum es tehnya yang tinggal seperempat gelas.

"Apa gue Cuma disuruh lihatin lo makan saja?" Kupukul berkali-kali sendokku ke piringnya hingga menimbulkan bunyi dentingan yang cukup menganggu. Untung saja rumah makan ini ramai, jadi aku tidak sampai menjadi pusat perhatian.

Alih-alih menjawab, Bruno justru tersedak di sela kegiatan minumnya. Ia batuk berkali-kali dan memberiku tanda untuk menunggunya meredakan efek sedakan es teh. Dengan kesal kudorong gelasku yang masih berisi setengah air putih kepadanya. Dasar bego! Makan seperti orang kesetanan dan minum seperempat gelas, memangnya apa yang diharapkan selain tersedak?

"Thanks." Ia tersenyum lega, lalu pandangannya beralih ke piringku. "Gue jadi pengen makan lele."

Aku mencibir kelakuannya. Dengan segera kutumpuk piringnya di atas piringku lalu menyingkirkan ke pinggir meja bersama dua gelas yang sudah kosong. "Gue nggak punya cukup waktu buat basa-basi, Bruno! Dan kalau lo lupa, gue juga belum sepenuhnya maafin kesalahan lo."

Bruno menyandarkan punggungnya di kursi. Mungkin ia menyadari kalau aku sedang dalam keadaan serius, jadi muka tengilnya saat makan tadi sudah berubah menjadi kuyu kembali. "Apa gue harus minta maaf karena suka sama seseorang?"

Harusnya aku tahu ini tidak akan mudah. Berbicara dengan Bruno memang lebih asyik daripada dengan Yoga, tapi itu dulu. Sekarang yang ada aku malah canggung menghadapinya dan ingin segera melepaskan diri dari situasi ini.

To Be With You (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang