2. Pemotretan untuk Katalog Why High

14.6K 1.3K 7
                                    

Pemotretan untuk catalog Why High

Aku keluar toilet dalam kondisi acak-acakan. Voni benar-benar kurang ajar! Berapa kali dia menyentuh kepalaku tadi? Menjambak.. menempeleng… Walaupun aku tidak suka kekerasan, tapi ada baiknya kubalas saja biar dia tahu betapa pusingnya kepalaku sekarang gara-gara perbuatannya.

Kelas dimulai dua puluh menit lagi dan aku sudah sepenuhnya kehilangan minat. Kalau aku memaksa untuk masuk, pada tiga puluh menit pertama pasti sudah ditendang lagi keluar. Berpikir… berpikir… Kembali ke kost? Ini bukan pilihan baik! Kantin? Perfect!

Ketika emosi menguasaimu, makanlah! Aku sudah siap menusuk-nusuk bakso sambil membayangkan kalau bulatan lezat itu adalah Ivon, Kyla, dan mungkin juga Yoga. Baru saja aku ingin menusuk bakso pertama, ponselku bergetar dan mau tak mau harus kubereskan dulu ini. Oh, panggilan dari agensi? Tumben sekali aku dihubungi seperti ini,

“Ya, selamat pagi.”

Yuva, kamu bisa pemotretan sekarang nggak? Duh, Imey mendadak sakit ini, jadi nggak bisa pemotretan.” Serentetan kata dari Mbak Lia –manajer Imey –terdengar cemas. Okay, sepertinya aku tahu kelanjutan dari ini.

“Duh Mbak aku ada kuliah satu jam lagi ini. Lagipula yang lain juga ada kan? Tuh si April!” Aku memang tak berniat ikut kelas, tapi kalau aku jawab jujur pasti Mbak Lia akan menarikku untuk ikut pemrotetan dengan segala cara.

Nggak bisa, Va, nggak cocok. Si April bule-bule gitu wajahnya.

Kuputar mataku mendengar nada bicara Mbak Lia yang semakin membuatku gemas. “Ya, kan model cowoknya bule, Mbak, cocok dong malahan. Kalau aku yang jadi modelnya kan malah Imey yang dapat penalty, Mbak.” Ini apa sih? Kok aku terdengar malah tawar menawar dengan Mbak Lia? Tapi memang benar model cowoknya kali ini dari luar –bule – soalnya kemarin si Imey cerita sampai histeris pas tahu betapa macho-nya si cowok.

Yang dibutuhin wajah oriental sama innocent, Yuva! Please, kamu datang ya sekarang? Kuliah kamu bolos deh, biasanya juga kamu bolos kuliah buat molor di kost. Dan ini permintaan langsung dari Why High pas lihat wajah kamu di catalog.” Tanpa mau mendengar penjelesan dariku lagi, Mbak Lia dengan seenaknya menutup telepon, yang berarti tertutup sudah kesempatanku untuk menolak. Percuma dong aku bohong tadi?

Kumasukkan kembali ponselku ke dalam tas lalu memakan bakso dengan cepat. Cepat di sini bukan berarti menghabiskan, tapi hanya memakan bulatan-bulatan dagingnya saja. Mbak Lia memang tak terduga deh. Kalau begini, lama-lama aku benar-benar jadi “ban serep” di Klik Management.

***

Yuvaaa… Dear… Thank you so much!” Mbak Lia menyambutku di ruang make up dengan pelukan erat, dan tak lupa cipika cipiki.

“Aku habis makan bakso lho, Mbak, jadi kalau pipiku terlihat gendut seperti babi gimana?” Jelasku terlebih dahulu. Ini sangat amat penting daripada nanti setelah pemotretan aku kena omelan sana sini gara-gara model ceweknya terlihat obesitas.

Mbak Lia mengibaskan tangannya di udara, seperti menganggap hal ini tak penting. “Tenang, bisa disamarkan dengan make up. Lagipula, aku lihat kamu nggak ada perubahan sama sekali kok.” Ucap Mbak Lia dengan santai. Sepertinya kecemasannya setengah jam yang lalu sudah lenyap tak berbekas saat melihat aku di sini.

Kuputar mataku. Kalau tahu reaksi Mbak Lia seperti ini, sekalian aku makan saja tadi mangkuk baksonya agar terlihat gendut. Sekali-kali biar dia tegas sama modelnya yang suka seenak udel. Aku yakin Imey sakit gara-gara sering hangout sampai subuh, dan gaya hidupnya yang memang suka sembarangan. Aku jadi heran, kok betah sih Mbak Imey dengan model susah diatur macam Imey itu?

To Be With You (Slow Update)Where stories live. Discover now