LIMA BELAS

77K 4.2K 26
                                    

PERNIKAHAN benar-benar sudah terlaksana. Terra dan Afiya benar-benar menjadi pengantin yang sangat berbahagia jika di lihat dari sudut pandang para tamu yang hadir.

Mereka sudah mengganti baju mereka dengan pakaian yang lebih santai karena acara formal sudah lama selesai.

"Apa kamu lagi memikirkan sesuatu?" Tanya Terra karena sedari tadi wanita di sebelahnya yang sudah berstatus sebagai istrinya itu hanya diam.

Afiya menoleh kepada lelaki di sebelahnya. Terkadang ia bingung dengan sifat Terra. Sikap lelaki itu bisa berubah-ubah hanya dalam hitungan menit.

"Aku cuma lagi membayangkan perasaan mereka saat melihat kita." Jawab Afiya sambil memandangi gelas minuman yang ada di tangannya.

Sekarang ia lebih memilih untuk meminum jus daripada cocktail.

"Kita menikah karena terpaksa, Afiya. Kita juga harus tinggal satu atap untuk tiga bulan ke depan. Aku rasa kamu gak akan pernah memiliki pernikahan yang indah dengan aku. Cause you're not my future. Aku enggak melihat kamu di masa depan aku." Ucap Terra dingin, sesaat Afiya tahu akan  bagaimana nasib kehidupannya untuk tiga bulan ke depan jika melihat cara lelaki ini bicara.

Afiya meletakkan gelas yang ia pegang ke nampan seorang valet. Setelah valet itu pergi dan tidak ada yang bisa mendengar mereka, Afiya menatap Terra untuk bicara.

"Let's make a deal. Tapi sebelumnya, pak Tedjawidjaja. Aku juga gak pernah menginginkan pernikahan yang seperti ini terutama dengan kamu.

Kita memang akan tinggal sama-sama untuk tiga bulan ke depan. Tapi kita harus buat perjanjian untuk enggak saling menyentuh dalam bentuk apapun kalau kita cuma berdua.

Karena aku sama sekali gak mau kita terlibat dalam hubungan yang lebih rumit." Jawab Afiya dengan senyum hangatnya. Seolah pembicaraan mereka adalah tentang membahas film yang baru saja tayang.

Terra membalas senyuman Afiya. "nyonya Tedjawidjaja, aku juga sama sekali tidak sudi untuk menyentuh kamu selain di hadapan publik."
***

Setelah acara pernikahan, Terra langsung membawa Afiya pulang ke apartemennya. Tempat yang akan di jadikan Afiya sebagai rumah untuk tiga bulan ke depan.

"Selamat datang, nyonya." Ucap seseorang saat mereka tiba di apartemen Terra.

"Bi, kamar untuk Afiya sudah di siapkan?" Tanya Terra.

"Sudah, tuan."

"Kamu bisa tidur di kamar yang sudah di siapkan." Ucap Terra kepada Afiya.

Afiya menganggukkan kepalanya. Ia tidak mempermasalahkan hal itu, toh mereka tidak bisa tidur di ranjang yang sama. Lebih baik tidur di kamar daripada dirinya harus tidur di sofa.

Terra mengangguk dan langsung berlalu ke kamarnya.

Afiya tersenyum kepada pembantu terra  "Hi, saya Afiya." Ucap Afiya sambil menyodorkan tangannya.

Wanita yang ada di hadapan Afiya mengerutkan alisnya saat melihat tangan Afiya terarah kepadanya. Ia menunduk dan menatap kedua tangannya sendiri.

Ia mengelap tangannya ke ujung bajunya dan dengan canggung menerima uluran tangan Afiya.

"Saya.. saya Ida. Nyonya bisa panggil saya bi Ida. Saya asistennya tuan Terra." Jawab Ida dengan canggung.

"Wah seneng banget saya kenalan sama Bi Ida."

Kecanggungan Ida mulai berubah saat Afiya mengajaknya bicara dengan santai.

"Kok seneng kenalan sama pembantu kayak saya, nyonya?" Ida menampakkan raut bingung membuat Afiya tertawa.

"Tau gak bi? Pekerjaan bibi itu tuh pekerjaan yang paling mulia. Bibi membantu Terra dengan waktu dua puluh empat jam. Siapa coba yang tahan dengan waktu kerja segitu?"

Ida menyunggingkan senyumnya. Ia tersipu dengan ucapan Afiya. "nyonya baik sekali, saya gak nyangka tuan bisa dapat istri sebaik nyonya karena tuan itu sangat dingin, tapi saya seneng karena istrinya tuan itu nyonya. Bukan artis itu. Apalagi nyonya jauh lebih cantik dari dia."

Ida mulai merasa nyaman dengan Afiya. Awalnya ia menyangka jika istri bosnya itu sama seperti wanita sosialita lainnya yang tidak akan Sudi bicara dengannya selain jika perlu meminta sesuatu.

"Bibi sudah kenal banget sama Terra, ya?"

"Oh saya sudah bekerja dengan tuan Terra sudah hampir dua puluh tahun. Tuan Terra sudah saya kenal luar dalam, nyonya. Walaupun dingin, tapi sebenernya tuan itu baik kok. Nyonya yang sabar aja ya."

"Bi Ida, panggil saya Afiya aja ya." Ucap Afiya karena ia merasa terganggu dengan panggilan Ida.

"Lho kok gitu, Ndak boleh begitu, nyonya. Nyonya kan istrinya tuan Terra. Ndak sopan saya." Ucap Ida bingung.

Sesaat air wajah Afiya berubah sedih  namun sedetik kemudian ia kembali menampakkan senyumnya.

"Karena saya cuma istrinya selama tiga bulan, bi Ida."

*Bersambung*

TERRAFIYA'S CHOICE (OPEN PO)Where stories live. Discover now