EMPAT

105K 5.3K 14
                                    

SHEINA terus tertawa mendengar cerita sahabatnya itu.

Saat tadi ia melangkahkan kakinya ke ruang khusus untuk melepaskan segala baju operasinya, Afiya menemukan Sheina yang juga baru selesai melepaskan baju operasinya.

"Hei, abis perang juga? Astaga kenapa hari ini banyak banget yang patah tulang ya?" Tanya Sheina yang sekarang tengah mencuci tangannya di wastafel.

Afiya tidak membalas dan terus melakukan pekerjaannya. Ia masih kesal pada Sheina meskipun ia tidak mempunyai alasan yang tepat. Sheina memiliki jam operasi dan sudah seharusnya ia menerima operasi mendadak.

"Eh, jadi cowok itu ngancem lo? Astaga.." ucap Sheina di sela tawanya.

"Dia ngancem mau menuntut gue dan membuat gue kehilangan pekerjaan gue, Shei!" Afiya masih sangat kesal dengan lelaki tadi.

"Emang dia siapa sih sampe bisa mengancam kayak gitu?" Kini Sheina sudah mengganti tawanya menjadi nada penasaran.

"Dari data pasien sih, dia itu keluarga Tedjawidjaja."

Sheina membulatkan Matanya dan mulutnya membentuk huruf 'O' sempurna.

"Yah, wajar aja sih dia bilang gitu. Dia adalah Tedjawidjaja."

"Kenapa kalau dia Tedjawidjaja?" Tanya Afiya karena biasanya sahabatnya ini pasti akan balik menghina siapapun orang yang berani menghina orang terdekatnya—dan Afiya termasuk dalam kategori orang terdekat Sheina.

"Lo gak tahu? Keluarga Tedjawidjaja tuh punya bisnis real estate, Afiya. Yah meskipun Darmandira the only number one in this country and third ini Asian, tapi keluarga mereka cukup berpengaruh sih."

Afiya mengangkat bahunya dan sama sekali tidak tertarik dengan ucapan Sheina hanya menjawab, "whatever."

"Udah gue bilang kan. Lo terlalu sibuk dengan ilmu sampai gak sadar dengan mereka."
***

Setelah melakukan final check dengan beberapa suster,  akhirnya Afiya bisa pulang ke rumahnya.

Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang karena tidak ada gunanya tancap gas sekuat mungkin di jalanan Jakarta. Semua kendaraan terlihat begitu egois untuk sedikit menepikan mobil dan mempersilakan mobil di belakang mereka untuk memotong jalan.

Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam di jalanan, akhirnya Afiya tiba di rumah besar orang tuanya. Ia menurunkan kaca mobil dan meminta satpam membuka gerbang dengan sopan dan setelah memarkir mobilnya, ia melangsungkan masuk ke rumah.

Hari yang sangat panjang dan melelahkan namun hatinya terasa tenang karena sebelum pulang, ia telah memastikan jika pasiennya dalam keadaan baik.

"Afiya? Apa kamu punya waktu untuk bicara sama mama?" Tanya Farrahia yang tengah duduk di ruang keluarga sendirian.

"Ada, ma. Mama kayak apa aja nanya gitu." Jawab Afiya sambil berjalan menuju ke arah ibunya. Menjauhi tangga yang akan menghubungkannya dengan kamar.

Farrahia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam sore.

"Karena mama rasa, mama sudah kehilangan semua anak-anak mama."

"Ma.. Afiya ada kok kalau mama butuh sesuatu. Ada apa?"

"Kamu lagi merencanakan sesuatu?" Tanya Farrahia yang sekarang sudah menatap anaknya yang nomor dua itu.

"Um.. Afiya berencana mau lanjut S3 ke London, ma." Tidak ada gunanya membunyikan keinginannya karena ibunya adalah board member di Medistra. Dokter Hans pasti sudah memberi tahukan ibunya.

Farrahia menghela napas. "Apa ini tidak terlalu cepat, sayang? Afiya, kamu sudah sangat pintar dan sudah mendapatkan posisi terbaik di Medistra. Apa lagi yang kamu cari?"

"..." Enggak ada.

"Mama rasa sudah waktunya kamu memikirkan hal lain, Afiya." Ucap Farrahia dengan tenang.

"..."

"Afiya, Ajeea sudah memiliki anak di usianya yang baru dua puluh lima."

"..." Ini, pertanyaan ini yang Afiya hindari ma.

"Kamu harus memikirkan diri kamu, Afiya."

"Erren baru akan punya anak saat usia tiga puluh, mama. Mama tenang aja, Afiya enggak sebodoh Erren yang hanya mau menyelamatkan hidup Yashita tanpa mkirin dirinya sendiri atau Ajeea yang selalu takut tentang kisah dia yang mungkin enggak bahagia. Afiya tahu kalau menikah adalah sebuah keharusan.

Tapi sekarang Afiya belum mikirin itu semua."

Farrahia hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Afiya. Sifat ketiga anaknya sangat berbeda-beda.

"Mama hanya berharap kamu tidak terlalu bahagia dengan pekerjaan kamu."

Afiya memahami perasaan dan kekhawatiran ibunya. "Ma, Afiya juga punya mimpi untuk membangun sebuah keluarga dan Afiya hanya mau melakukannya satu kali dengan orang yang paling Afiya sayangi.

Kalau Afiya meminta mama untuk nunggu itu, apa mama bisa?" Pinta Afiya sambil memegang kedua tangan ibunya.

"Sebelum mama menyanggupi, Afiya.  mama yang bertanya kepada kamu, apa kamu benar-benar belum memikirkan untuk menikah atau kamu masih menginginkan dia untuk menjadi pendamping kamu?

Karena, Afiya. Kalau kamu memang menginginkan dia dan hanya dia, mama tidak yakin kamu akan menikah."

Afiya terdiam mendengar ucapan ibunya. Untuk kesekian kalinya, ia tidak mampu menjawab pertanyaan itu.

Ia tidak berani jujur dan membenarkan semua ucapan ibunya. Bahwa masih ada dia di seluruh rongga hatinya.

*Bersambung*

ISYAHNILAM ❤️

TERRAFIYA'S CHOICE (OPEN PO)Where stories live. Discover now