thank you, stop.

161 76 51
                                    

Seminggu, satu minggu yang dibutuhkan Orangtua Helen. Mama akan pindah dan Ayahnya akan tinggal disini. Ayahnya membantu kepindahan Mama sambil terus tersenyum. Seolah perceraian mereka adalah pilihan yang tepat.

Mereka menentukan dimana Helen akan tinggal, di ruang tamu, tanpa ada teriakan, atau barang yang pecah. Hanya percakapan biasa yang Helen dengarkan diam-diam dari kamarnya.

Ia rindu Erin. Dimana Erin selalu menemaninya ke Taman Kota, kadang mereka bermain petak umpet. Dan Erin akan bersembunyi di kolam ikan, Helen akan menunggunya kehabisan nafas dan Erin akan berpura-pura mati sampai mengambang.

Setelah pulang Sekolah, Helen pergi ke Pusat Kota. Ia ingin ke Taman Kota. Tentu, seorang diri. Ia menggunakan payung kuningnya juga jas hujan karena tanpa terduga, hujan turun deras. Ibunya berpesan untuk langsung pulang, tapi Helen bebal kali ini.

Di dalam bis yang mengantarkannya ke Pusat Kota, Ia duduk di kursi depan berbincang dengan Pak Supir. Kebetulan, kali ini Bis yang Ia naiki disupir oleh Bapak favoritnya.

Saat sampai di Taman, tidak ada pengunjung, disana benar-benar sepi. Ia berteduh di dekat taman bermain, menunggu hujan selesai dan rok nya kering. Ia melamun, satu bulan lagi ujian akhir diadakan dan nilainya tidak ada yang naik sampai ke delapan puluh.

Helen mengeluarkan buku kecil lamanya dari dalam tas. Bukunya dan Erin, dimana Erin akan menceritakan tentang keluarganya yang bahagia, sampai Helen cemburu.

"Helen, aku dihadiahi payung kuning saat ulang tahunku kemarin. Ayah membelikanku sekotak penuh donat hanya untukku!"

"Helen, Ayah dan Ibuku janji akan mengajakku pergi ke Pantai karena aku merengek ingin pergi kesana lagi."

"Helen, kemarin Sabtu. Aku harus membeli buku paket atau aku tidak bisa ikut ulangan. Tapi Ayah dan Mama tidak menghiraukan aku, aku bingung."

"Helen, Ayah pergi keluar kota untuk bekerja. Jadi aku hanya berdua di rumah dengan Mama."

"Helen, aku terbangun malam-malam. Dan aku dengar dari kamarku, Ayah membentak Mama."

"Helen, aku takut. Mama menampar Ayah saat makan malam, mereka bertengkar di depanku."

"Helen, aku berangkat dengan Bis pagi ini. Ayah dan Mama tidak mau mengantarkanku."

"Helen, Mama akhirnya bekerja. Ayah jarang pulang ke rumah. Di rumahku sepi sekali."

"Helen, aku berharap setahun yang lalu tidak pernah terjadi."

Helen tersadar dari lamunannya. Hujan juga sudah reda, Ia menatap sekelilingnya lagi, tapi Ia masih seorang diri. Ia ingin donat cokelat sekarang, Ia melepas jas hujannya. Merobek halaman terakhir buku itu, tahu bahwa Erin tidak akan kembali. Ia menancapkan kertas robekan itu pada paku di bangku Taman dekat kolam, lalu pergi.

"Erin,

Kemarin aku hadir di persidangan Ayah dan Mama. Mereka memutuskan aku akan tinggal bersama Ayah sampai Semester ini selesai. Lalu aku akan pindah dan tinggal dengan Mama.

Aku tidak bisa tidak menangis, karena malam ini Mama akan pindah keluar kota untuk tinggal sendiri. Tapi aku sadar, ini semua untuk yang terbaik.

Aku akan sendirian tanpa kamu. Aku rindu kamu, Erin."

Helen membeli empat donat dan menyisakan dua untuk Ayah dan Mama. Hujan datang lagi, jadi Ia memakai payungnya sampai Halte Bis. Ia duduk dan memakan donatnya lagi, tahu bahwa Bis yang Ia naiki datang sembilan menit lagi.

Angin berhembus kencang, rambutnya jadi menempel pada selai cokelat dan Ia berdecak. Payung kuningnya terbang cukup jauh dari Halte dan Ia harus berdiri untuk mengambilnya.

Sebelum Ia menggapai payungnya, seseorang mengambilnya terlebih dahulu. Seorang gadis manis dengan rok tutu putih. "Helena!"

Helen terkejut, "Erin? Kemana saja kamu?" Ia menunggu berhari-hari kedatangannya dan disinilah orang yang Ia tunggu, memainkan payungnya.

"Helen! Aku akan berhitung sampai dua puluh! Siap atau tidak, kamu harus mengejar aku!"

Erin melompat-lompat pergi sambil bersenandung riang, Helen yang masih bingung pun ikut mengejarnya. "Erin, tunggu dulu!"

"Lima!"

Langkah Erin semakin cepat, Helen harus berlari untuk mengejarnya. "Erin, jawab pertanyaanku!"

"Sebelas!"

"Erin, aku tidak ingin bermain!" Helen memperlambat larinya, sadar bahwa orang-orang pasti akan menganggapnya gila karena berbicara sendiri. Tapi Erin tidak, Ia tetap melompat-lompat sambil terkikik, "kejar aku Helen! Kejar aku!" Helen pun mengejarnya kembali.

"Delapan belas! Helen perhatikan langkahmu, jangan sampai kamu tersandung!"

"Sembilan belas!" Mereka memasuki penyebrangan pejalan kaki, yang masih berlampu hijau.

"Helen, tidak, tunggu!"

Aku tidak sadar itu menghantamku, tapi aku dengar, dengar saat kepalaku terantuk ke jalanan.

Erin berbalik kepadanya, truk besar itu sadar ada seseorang yang menyebrang sampai bunyi tabrakan keras menghantam bagian depan truk. Truk itu menabraknya, menabrak Helena yang sedang mengejar Erin. "Bukan begitu. Aku, aku tidak bermasud demikian, bukan itu maksudku!"

Erin menjatuhkan payung kuning Helen, menyesal. Rahangnya terbuka, Ia terkejut saat dada Helen masih naik dan turun bernafas atau berusaha bernafas saat seluruh tubuhnya mati rasa, kejadian itu cepat sekali. "Helen, maafkan aku," lirih Erin.

"Seseorang panggilkan Ambulan!" Erin menatap orang-orang yang berusaha mendekati truk, beberapa orang menjerit, anak kecil yang melihat kejadian itu menangis takut. Ia harus melanjutkannya.

"Dua puluh."

'fin'

●●●

—this story  dedicated for me, myself and i

—smh, kenapa? karena aku ambis buat nilai yeekan:)

Another MeWhere stories live. Discover now