thank you, next

270 94 52
                                    

Pagi itu hujan turun, dimana petir diluar menyambar-nyambar membuat bising, dimana kamar yang dingin itu semakin dingin.

"Pagi, sudah pagi, kelas hari ini jam delapan, ingat?"

Ia menyibak sedikit selimutnya dan mematikan alarm, tapi kembali menutup mata.

"Bangun! Kamu harus bangun! Atau aku akan mematahkan lehermu!"

Untuk kali kedua, Ia mendudukan dirinya, sambil berusaha menghiraukan suara petir diluar jendelanya. Matanya tertutup, alisnya menyerngit, malam tadi Ia mimpi buruk lagi. Ia jarang bermimpi, tapi sekalinya itu terjadi adalah mimpi buruk, duh sial.

"Ikat rambutmu saat makan!" Ia bergumam maaf lalu mengikat rambutnya. Menyesal mengetahui fakta bahwa Ibunya masih ada dirumah di jam sepagi ini.

"Mama tidak akan pulang Sore ini, jadi kamu harus membeli makan malam sendiri, oke?" Ia menatap Ibunya sebentar, lalu melanjutkan makan.

Bukannya tiap hari juga seperti itu? "Oke."

"Tunggu, ma" Ia ingat sesuatu, seseorang yang seharusnya pulang kemarin malam dan ikut sarapan sekarang. "Dimana Ayah?"

Ibunya menghela nafas lalu tersenyum, menatap wajah anaknya. "Ayahmu akan pulang, mungkin malam ini, atau malam lusa, jadi jangan khawatirkan dia, oke?" Sebutan itu lagi, sebutan yang membuat matanya berair. "Oke."

"Alright, Mama akan berangkat sekarang, uang sakumu ada di laci. Ingat, jangan lewatin makan siang dan makan malam, sayang" Ibunya beralih mencium pucuk kepalanya dan berlalu keluar rumah. Dalam hatinya, Ia berharap Ibunya tidak akan pulang. Tidak akan pernah.

Sudah setahun, setahun lamanya Ia merasakan hanya hidup seorang diri. Ibunya bekerja, atau akhirnya bekerja saat Ayahnya tidak peduli pada Istrinya sendiri. Ayahnya sering pergi keluar kota untuk urusan kantor, tapi tidak pulang tepat waktu di hari yang Ia janjikan akan datang. Sekalinya mereka berada di satu atap yang sama, yaitu rumah mereka. Mereka akan bertengkar, tepat di depan matanya. Baik saat Ayahnya baru menginjakkan kaki di dalam rumahnya, atau makan malam.

Ia ingin mereka berpisah, tapi Ia menyayangi kedua. Dan jika orangtuanya berpisah, hidupnya pun juga berakhir. Ia hanya ingin mereka bersama lagi, apalagi mereka bertengkar bukan karena ada orang kedua. Ia sering berbohong, nilainya di Sekolah turun, dan Ia tidak pernah punya keberanian untuk bercerita kepada orang lain. Oh, kecuali dia.

"Aku berharap kamu punya keberanian untuk membentak Mama, dia sudah sangat keterlaluan!"

Ia menghela nafas, sudah setengah delapan. Harusnya Ia sudah berangkat, atau dia akan ketinggalan Bis pagi ini. Segera Ia bangun dan langsung mencuci piring, karena tidak ada lagi yang membersihkan rumahnya selain dia. Hujan yang deras tadi, digantikan dengan rintik-rintik. Mungkin sebaiknya memakai jas hujan juga?

"Kalau menurut aku sih, gausah." Ia pun keluar dari rumahnya, memakai payung kuning, hadiah ulang tahunnya, tiga tahun lalu. Sebelum semuanya terasa seperti neraka. Sebelum Ayah dan Mama bertengkar hebat.

"Aku bertaruh, kita tidak akan boleh masuk jam pertama."

Aku tahu, Ia berlari kecil saat Halte Bis sudah ada di jangkauannya. Lalu melihat jadwal Bis di papan, mengetahui bahwa Bis yang Ia akan naiki belum melewati Halte ini.

"Helen, apa kamu akan membeli es krim seperti minggu lalu? Kamu sudah mengerjakan seluruh Pr."

Aku tidak tahu, Ia baru menyadari bahwa hanyalah dirinya yang duduk di Halte ini. Kemana semua orang? Kemana anak sekolah yang lain?

"Oh, mereka pasti sudah diantar oleh Orangtuanya. Hari ini hujannya dahsyat. Kenapa tidak minta diantar Mama, Helen?"

Helen mengangguk, benar juga. Mereka pasti tahu pagi ini hujannya deras, dan sekarang Ia kesal pada Ibunya yang berangkat lebih dahulu, padahal mobil Ibunya masih bisa dinaiki paling tidak tiga orang, tiga orang, Helen, Mama dan Ayah.

Another MeWhere stories live. Discover now