SATU

226K 7.3K 25
                                    

"WELL, dokter Afiya Zhura Darmandira, saya memanggil anda karena surat pengajuan ini." Ucap dokter Hans sambil mengangkat sebuah map coklat.

Afiya tersenyum dan mengangguk sembari menatap dokter senior yang merupakan dokter kepala di rumah sakit Medistra.

"Memang benar saya mengajukan surat untuk cuti karena saya ingin melanjutkan pendidikan saya ke London, dokter."

"Sepertinya rumah sakit ini akan kembali melepaskan seorang dokter terbaiknya." Jawab dokter Hans yang sudah ia anggap sebagai orangtuanya sendiri.

"Saya akan kembali ke rumah sakit ini dan berjanji akan menjadi lebih baik lagi, dokter." Jawab Afiya.

Sesaat dokter Hans hanya memandangi wajah Afiya. Masih sangat muda, pikirnya. Masih sangat muda dan sangat gigih untuk belajar.

"Saya tidak pernah melihat manusia seperti anda yang tidak pernah puas dan ingin menyelesaikan segalanya dengan cepat." Ujar dokter yang sebagian rambutnya sudah memutih itu.

Lelaki tua yang lebih senang di panggil dokter daripada profesor.

Afiya tertawa sebelum menjawab ucapan dokter itu. "Karena, dokter Hans. Banyak sekali hal yang belum saya capai. Menyia-nyiakan  waktu yang sedikit sangat tidak baik, bukan?"
***

"Lo sakit, ya?" Tanya Sheina, rekan kerjanya yang merupakan salah satu dokter  orthopedi di rumah sakit ini seperti dirinya.

Sheina baru saja selesai dengan risetnya dan menemui Afiya di kafetaria.

"Apaan sih, Shei?" Jawab Afiya yang berusaha makan siang dengan tenang di kafetaria rumah sakit.

Beberapa dokter lainnya menyapa mereka dan Afiya membalasnya. Berbeda dengan Sheina yang tetap fokus pada sahabatnya.

"Gue denger, lo baru aja selesai menemui dokter Hans karena ngajuin cuti untuk ngambil S3 di London? Well it's hell."

"Hmm.." jawab Afiya sekenanya yang sibuk mengunyah makanannya.

"Afiya, ini bukannya terlalu cepat? Belum genap satu tahun lo balik ke sini karena study lo, dan lo mau pergi lagi?"

"Shei, apa masalahnya? Toh dokter Hans udah memberikan izin, kecuali if you have a problem with it." Jawab Afiya yang sekali lagi tersenyum menjawab sapaan rekan dokternya.

"Lo masih terlalu muda, Afiya. Nanti lo menua sebelum waktunya karena terlalu keras untuk berpikir."

Afiya tertawa mendengar jawaban sahabatnya itu. "Shei, tau gak sih. Kalau lo bicara gitu di tempat lain selain rumah sakit ini dan tanpa pakai jas putih kayak gini, gue yakin lagi bicara sama orang yang gak pernah lulus dari jurusan kedokteran dengan predikat cumlaude."

Sheina memutar kedua bola matanya mendengar jawaban Afiya. Tidak ada maksud apapun dari ucapannya. Ia hanya khawatir sahabatnya satu ini terlalu mencintai karirnya hingga tidak memikirkan hal lain lagi.

"Lo cantik, pintar and you're a member of  Darmandira, Afiya. Semuanya enggak akan meragukan lo dan siapa diri lo. Gue rasa, udah seharusnya lo memikirkan hal lain." Kini Sheina sudah mengubah cara bicaranya dengan lebih serius.

"Shei, udah deh. Gue capek jawabnya. Lo ga capek apa ya nanya mulu?"

"Lo gak sayang sama uang lo? Gue mulai mikir kalau lo sebenernya cuma menukar uang untuk ilmu."

"Kan tadi lo bilang sendiri kalau gue adalah bagian dari keluarga Darmandira. Ya gue bebas dong ngelakuin apa aja." Jawab Afiya pura-pura sombong.

"Dasar ya, orang kaya. Ngapa-ngapain aja gak mikirin duit."

Dan Afiya hanya tertawa mendengar jawaban Sheina.
***

Selesai makan siang, dan berhubung ia tidak memiliki jam operasi, Afiya memutuskan untuk kembali pada riset-risetnya mengenai tulang dan kasus-kasus sulit yang harus lebih ia pahami.

Namun saat seorang perawat mengganggu kedamaiannya di laboratorium khusus, Afiya mengangkat kepalanya dari mejanya.

"Ada apa, suster?" Tanya Afiya karena perawat itu terlihat sangat panik.

"Dokter Afiya—diluar—patah tulang rusuk!" Ucap perawat itu terputus-putus unik menjawab pertanyaan Afiya.

"Saya enggak ngerti. Bisa suster tenangkan  diri dulu?"

Perawat itu terlihat mengatur napasnya sebelum kembali bicara. "Dokter, di luar ada pasien yang terkena patah tulang rusuk dan harus segera di ambil tindakan."

Afiya mengerutkan alisnya dan melepaskan semua benda yang ia pegang. Ia berdiri untuk menghadap ke perawat itu yang terlihat makin panik.

"Bukannya hari ini jadwal dokter Sheina  untuk berjaga di depan?" Tanya Afiya. Ini diluar protokol rumah sakit. Jika tidak ada janji, maka yang menangani pasien adalah dokter jaga.

"Dokter Sheina sedang ada pasien."

Afiya mengerti sekarang dan dari apa yang ia lihat, perawat itu amat panik dan sepertinya pasien mereka benar-benar dalam bahaya.

Afiya berlari keluar dari laboratorium khusus untuk menuju ke UGD.

"Siapkan ruang operasi." Ucap Afiya saat memasuki UGD dan segera berjalan untuk melihat keadaan pasiennya. "Sudah di Rontgen?"

"Sudah, dokter." Jawab salah satu suster.

Afiya mengangguk dan melanjutkan perjalanannya.

"Anda dokternya?" Tanya seorang laki-laki yang memakai jas kantoran namun sekarang penampilannya terlihat amat berantakan.

Sebagai seorang dokter, Afiya sudah terbiasa menghadapi keluarga pasien dam perlakuan seperti ini.

"Ya, tuan dan maaf saya harus memeriksa pasien." Jawab Afiya dengan sabar.

Ia akan beralih menuju ke bangsal pasiennya namun tangannya di tarik paksa oleh lelaki tadi membuatnya terpaksa menghadapi lelaki itu lagi.

"Nenek saya sudah berada di sini selama lima belas menit, pingsan dan belum mendapatkan penanganan khusus dan anda baru datang ke sini!" Teriak lelaki itu di depan wajahnya yang sekarang sudah memegang kedua sisi tubuhnya dan mengguncangnya.

Pantas saja tadi susternya berlari dengan wajah panik ke arahnya. Pasti lelaki ini sudah mengamuk sebelumnya.

*Bersambung*

Haiiiiiii ini adalah ceritanya Afiya. Semoga suka dengan cerita ini yaaa :'3

Happy reading 🤣😘

ISYAHNILAM PUNJABI 🖤

TERRAFIYA'S CHOICE (OPEN PO)Where stories live. Discover now