Part 1 (H-14)

5.7K 186 5
                                    

Andin melangkahkan kakinya di trotoar, pelan, seolah menikmati tiap langkahnya. Padahal ada perih di hati yang tak sanggup dia keluarkan. Sangat sakit, tapi tak tampak. Dia tersenyum, lalu menggelengkan kepala. Bodoh, memang bodoh. Padahal dia tahu bahwa hubungannya dengan Gyo tidak boleh terjadi.

Tin tin.

Dia menoleh, dilihatnya mobil Adit mengikutinya di belakang. Namun, tak ada keinginan untuk ikut pulang bersama Adit. Sendiri adalah satu hal yang diinginkannya.

"Budek ya?" tanya Adit sambil berlari menyusul Andin.

Andin tak menjawab, terus berjalan dengan langkah kecilnya.

"Wanita kalo patah hati, dilema banget seperti ini ya?"

Andin diam, tak menanggapi celoteh Adit.

"Heran deh, apa sih yang dilihat dari suami Cinta itu, kok bisa tertarik sama wanita yang gak feminim sama sekali." Mata Adit menelusuri tubuh Andin dari atas sampai bawah.

"Bawel banget mirip emak-emak di pasar. Kamu bisa diam gak sih?" Akhirnya Andin bersuara sambil memandang Adit dengan bengis.

Adit langsung menyatukan jari jempol dan telunjuknya, membuat huruf O. Lalu tangannya bergerak seolah-olah mengunci pada mulut, membuang anak kunci dengan cara melemparkan sejauh-jauhnya.

Andin memutar bola mata dengan jengah. Sama sekali tidak lucu.

Jlegar!

Mereka berdua kaget mendengar suara petir menggelegar di atas kepala. Langit yang memang sudah hitam, menampakkan tanda akan turun hujan.

"Mau turun hujan nih, naik ke mobil yuk!" ajak Adit yang hanya dibalas dengan lirikan tak suka.

Adit mengangkat bahu tak peduli, seolah mengerti bahwa tadi dia sudah mengunci mulut dan membuangnya entah ke mana. Lalu dia berbalik arah, meninggalkan Andin yang terus berjalan sendiri.

Beberapa tetes mulai jatuh dari langit. Andin tahu, tapi dia tidak beranjak untuk berteduh, hanya berjalan. Langit mulai menangis, seperti menggantikan air matanya yang tak bisa menetes. Dia lupa sudah berapa lama tak menangis. Baginya, hidup itu bukan untuk ditangisi, tapi dijalani dan dihadapi.

Rintik hujan turun satu per satu dengan deras. Rambutnya basah, hujan bagai memijat kepalanya agar bisa tetap dingin. Kaos dan celana panjangnya pun mulai basah, tapi dia tak peduli. Berharap air hujan bisa mendamaikan hatinya yang sudah berantakan sejak tadi.

Tiba-tiba Andin tak merasakan tetes hujan lagi di atas kepalanya. Dia mendongak, sebuah payung berwarna hitam sudah berada di atas kepalanya. Saat menoleh, dilihatnya Adit sedang memayunginya.

"Dasar maling payung!" kata Andin tak menghiraukan Adit.

"Hah? Maling katamu?"

"Nyolong payung di mana?" tanya Andin sinis.

"Ih Mak Lampir! Omongannya pedes bener! Makanya kalo jalan itu liat sekeliling. Noh di belakangmu ada toko yang jual payung!" gerutu Adit tak terima sambil menunjuk toko yang dimaksud.

Pandangan Andin mengikuti jari telunjuk Adit, memang ada sebuah toko besar di sana. Namun, gengsinya terlalu besar untuk meminta maaf pada lelaki tampan di sampingnya.

Hujan makin deras, terlihat beberapa ranting pohon mulai meliuk-liuk terkena angin. Tubuh Andin pun mulai menggigil.

"Kamu emang Mak Lampir, tapi bukan emak sakti yang bisa tahan dingin dan mengeluarkan api dari tangannya. Kalo sakit, aku gak mau tanggung jawab!" Adit mengambil tangan Andin, meletakkan tangan itu pada gagang payung, lalu dia berlari ke sebuah teras toko yang sudah tutup.

Demi Cinta (Repost Ulang)Where stories live. Discover now