Prolog

557 71 182
                                    

Hujan deras mengguyur hampir keseluruhan kota yang terbilang cukup sibuk. Seoul, kota berjuta kenangan yang dipenuhi hiruk pikuk aktivitas warganya. Meski hari sudah hampir berganti, tetapi orang-orang masih sibuk berlalu lalang dengan kegiatan mereka. Meski begitu, gadis dengan rambut kecokelatan dan mata sembab itu tampak tidak peduli dengan keributan tersebut.

Ia hanya menatap kosong ke luar jendela apartemennya. Pikirannya melayang entah ke mana. Sudah hampir satu minggu ia hanya berdiam diri di kamar, tidak ada yang berani mengganggunya. Gadis dengan wajah blasteran Korea-Amerika itu lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk di tepi jendela sambil menatap pemandangan kota Seoul. Hatinya masih terguncang perihal kematian orang yang sudah ia anggap orang tuanya sendiri.

Jika tahu begini, ia akan mempercepat kepulangannya ke Korea. Setidaknya hal itu bisa membuatnya lebih lama menghabiskan waktu bersama Tuan Kim-orang yang sudah mengasuhnya sejak kecil seperti anak sendiri. Namun, kini kedatangannya yang terlambat selain membawa penyesalan juga membawa keterkejutan bagi gadis itu.

Bagaimana tidak, tiba-tiba ia harus mengemban tugas berat, yakni memegang jabatan sebagai pimpinan utama-pemilik saham terbesar-sebuah perusahaan atas wasiat Tuan Kim, sebagai ayah asuhnya. Namun, kenyataan bahwa ia merupakan warga negara asing menyulitkannya mengambil alih seluruh aset Bos Besar perusahaan itu.

"Udah malam, kenapa enggak tidur?" sapa seorang pria berbadan tinggi ketika memasuki kamar di mana gadis itu berada.

"Hai, Joon. Sejak kapan kamu berada di situ? kenapa tidak mengetuk?" jawab gadis itu sedikit kesal, karena merusak lamunannya.

Pria yang dipanggil pun melangkah memasuki kamar. Ia duduk di tepi ranjang menghadap jendela agar lebih dekat dengan si gadis. Menatap lurus wajah sepupunya yang dirundung kesedihan.

"Aku sudah mengetuk berkali-kali, tapi tidak ada jawaban, dan, hei! ini Korea, Nona. Kamu lebih muda dariku. Panggil aku Oppa!" ucap pria yang dipanggil Joon itu dengan nada yang terdengar kesal.

"Kamu tahu aku bukan warga negara Korea. Jadi, kenapa harus memanggilmu seperti itu?" sahut si gadis dengan malas.

Pria itu menjawab dengan yakin. "Karena kamu akan menjadi warga Negara Korea sebentar lagi."

Gadis yang wajahnya terlihat suram dengan mata sembab karena bercak bekas air mata itu kini menatap wajah sepupunya dengan penuh harap. "Bagaimana bisa? Pindah kewarganegaraan enggak semudah itu, Joon."

"Karena itu lah aku ke sini, untuk mendiskusikan masalah ini." Pria dengan lesung pipi itu mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih serius. Ia menatap lurus mata kecokelatan di hadapannya.

"Mendiskusikan apa?" jawab gadis itu sambil merubah posisi duduknya. Ia beralih menatap lurus mata pekat pria di hadapannya dan terlihat serius dengan pembicaraan ini.

"Tentang wasiat Paman Junwoo, apa kamu sudah memikirkannya?"

Gadis itu mendesah lemah. "Entahlah, kayaknya enggak bisa."

"Kenapa? Kamu tahu 'kan, Paman Junwoo enggak memiliki anak? Hanya kamu yang dibesarkan oleh Paman dan Bibi sejak kecil."

"Tapi, aku hanya anak asuh yang menerima kasih sayang Paman dan Bibi Kim, tidak lebih. Lagi pula, kamu tahu aku warga negara asing. Aku tidak dapat mengambil alih aset Paman Kim semudah itu."

"Emmm ... untuk masalah itu, sebenarnya aku punya solusi." Pria itu berkata dengan sedikit ragu serta tampang khawatir. Ia takut jika gadis itu akan menolak saran darinya. Namun, ia juga harus segera menyampaikan gagasannya tersebut. Tidak boleh ditunda-tunda lagi.

"Apa? katakan!" seru gadis itu tidak sabar, bagaimanapun juga, ia ingin sekali membalas kebaikan Tuan dan Nyonya Kim dengan cara memenuhi wasiat terakhir itu.

"Bagaimana jika, euumm ... menikah?" jawabnya dengan ragu. Terlihat jelas dari caranya menggigit bibir bawah serta mata yang berkedip tidak teratur. Napasnya pun kian sesak lantaran tidak siap menerima reaksi dari gadis yang ia kenal sebagai sosok yang arogan di hadapannya itu.

"What the hell, Kim Seojoon! Apa kamu sudah gila? Bagaimana aku bisa menikah hanya demi sebuah kewarganegaraan?" ucap gadis itu merasa kesal.

"Iya aku tahu ini gila, tapi menurutku itu satu-satunya cara, Anna. Kamu enggak perlu terburu-buru, kamu bisa memulainya sambil mempelajari perusahaan. Ini demi Paman Junwoo. Apa kamu tega mengabaikan wasiatnya?" ujar Namjoon, berusaha menjelaskan agar gadis bernama Anna itu mau mengerti. Ia benar-benar ingin membantu Anna, tetapi hanya itu ide yang bisa ia pikirkan.

"Apa tidak ada cara lain yang ada di kepalamu?" Pria yang bernama lengkap Kim Namjoon itu menggelengkan kepalanya dengan tatapan mata mengarah ke bawah. Ia merasa menyesal karena tidak menemukan ide lain untuk membantu gadis itu.

Sedang gadis dengan rambut panjang kecokelatan yang tergerai tidak beraturan itu menghela napas berat, sebelum akhirnya menjawab tawaran pria Kim yang duduk di hadapannya. ia menatap nanar mata hitam Namjoon.

"Baiklah, aku akan menikah jika itu satu-satunya cara menjalankan wasiat Tuan Kim."

tbc...

Notes : cerita ini murni khayalan aku aja, jadi nggak tahu sebenernya apakah pindah kewarganegaraan itu sesusah itu, atau tentang WNA gak bisa melakukan pengalihan aset itu bener apa nggak.

thanks

-Love

Rizkita Min 💜

TemptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang