Balon

506 64 1
                                    

Seorang gadis yabg baru saja turun dari sebuah mobil berjalan ke arah gerbang sekolahnya. Meski semua kendaraan yang mengantar para siswa diperbolehkan mengantar hingga depan lobi, tetapi gadis itu lebih suka berjalan kaki. Senyum ceria terukir di wajahnya, menyapa satpam yang bertugas menjaga gerbang dan beberapa orang yang menyapanya lebih dulu.

Semakin dekat jaraknya dengan pintu utama lobi, langkahnya terhenti, senyumnya hilang dan terganti oleh rasa cemas. Tanpa pikir panjang, ia kembali menuju gerbang dan memutuskan duduk di pos satpam.

"Tania?"

Gadis itu menoleh, dilihatnya Steven yang penampilannya selalu mencolok dengan berbagai macam asesoris yang seharusnya tidak dipakai di sekolah. Seperti saat ini, laki-laki itu memakai sarung.

"Kok lo tau nama gue?"

Steven tersenyum miring. Tania adalah gadis yang terkenal karena sifatnya yang selalu ceria dan ramah. Semua orang tentu mengenalnya.

"Itulah mengapa diciptakan name tag."

Refleks, gadis itu tersenyum, pandangannya beralih pada pakaian bawah Steven. "Ngapain pake sarung?"

"Untuk mengingat budaya bangsa." Laki-laki itu berucap bangga, membuat Tania tertawa kecil.

"Ayo masuk, Ta."

Gadis itu terdiam. Ekspresi wajahnya kembali terlihat cemas.

"Tania?" Steven melambaikan tangannya tepat di hadapan wajah gadis itu.

"Kayaknya ... gue mau pulang aja," ucapnya dengan suara yang gemetar.

"Kenapa?" Kening laki-laki itu mengkerut.

"Balon."

Steven melihat ke arah pintu lobi yang dihiasi oleh balon berwarna merah dan putih sebagai hiasan perayaan kemerdekaan.

"Ada apa sama balon?"

Tania menggelengkan kepalanya.

"Fobia?" tebak Steven.

Tak ada jwaban. Membuat laki-laki itu mengerti jika tebakannya benar. Tanpa pikir panjang, ia melepas sarung, memperlihatkan celana abu-abu panjangnya. Kemudian memberikan sarung itu pada Tania.

"Tutupin mata lo, gue bantu masuk ke dalam."

Dengan ragu, gadis itu menutup kedua matanya menggunakan sarung, ia tak yakin cara ini akan berhasil. Meski tahu pasti jika penampilannya kali ini sangat aneh, ia tetap ingin menghargai usaha Steven.

"Udah?"

Tania mengangguk. Pandangannya yang gelap membuatnya hanya mengandalkan telinga untuk mendengar intruksi dari laki-laki yang ia yakini berada di sampingnya.

"Kanan dua langkah, terus maju sampe intruksi selanjutnya."

Gadis itu mengangguk, terus mengikuti intruksi hingga intruksi yang diberikan hingga ia diperbolehkan melepas penutup matanya. Senyuman Steven yang pertama kali dilihatnya.

"Aman, kan?"

Tania mengangguk dan tersenyum ketika menyadari dirinya sudah berada di dalam gedung sekolah.

"Makasih, Steven."

"Oke."

Laki-laki itupun pergi menuju kelasnya yang berada di lantai tiga.

*

Tiga jam kemudian, seluruh murid sudah mengganti pakaiannya yang semula putih abu-abu menjadi seragam olahraga sekolah. Aula sekolah terlihat sangat ramai dengan sebuah panggung berukuran sedang yang sejak pagi tadi terus menampilkan beberapa grup musik kebanggan sekolah.

GenreFest 2018: AngstWhere stories live. Discover now