Dualisme

3.5K 343 23
                                    

Pendingin ruangan menyebar mendinginkan seluruh ruangan. Aku segera mengeratkan jaket. Dingin, padahal aku sudah lima kali bolak-balik mengitari seluruh toko buku ini. Sampai akhirnya langkahku terhenti. Mataku tertuju pada sebuah buku yang terpajang pada sebuah rak di sudut toko buku kotaku.

"Woah! Akhirnya ketemu!" jerit seorang perempuan dengan nada melengking yang tiba-tiba muncul dan meraih buku yang aku tatap. "Gila beneran terbit jadi buku, Ri!" Dia menoleh padaku dengan sukacita yang luar biasa.

"Ya iyalah beneran. Masa revisian gue tiga bulan kemarin sia-sia." Aku tersenyum simpul. Dia adalah teman kuliahku, namanya Elena, orangnya sangat aktif dan selalu menunjukan ekspresi yang jujur dari mata dan wajahnya.

"Kyaa! Sahabat gue penulis betulan!" jeritnya yang membuatku sontak melompat dan menutup mulutnya yang sangat berisik ketika senang itu.

"Lo mau beli? Apa cuma mau heboh aja, Len?" tegurku.

Dia tertawa dan segera memeluknya. "Beli dong."

"Ya udah sana bayar, jangan dipelukin aja." Aku mendorongnya pelan ke arah kasir yang sebenarnya cukup jauh.

"Iya, iya, bentar ya. Gue mau bayar dulu." Setelahnya Elena berlari kecil menuju kasir dan mulai mengantri.

Aku sendiri hanya berdiri, seperti patung menantap karya pertamaku yang pertama kali terlahir dalam bentuk buku fisik setelah beberapa tahun menekuni dunia kepenulisan.

Yah—aku bukannya nggak senang sih ... hanya saja, lalu apa?

Akhirnya, aku hanya menatap buku yang berjudul 'Dualisme' itu dalam diam. Buku kepunyaanku yang sangat berbeda sekali dengan buku yang laris dipasaran.

Sia-sia ya? Padahal sudah terbit tapi pasti tidak laku.

"Ri? Lo bengong lagi?" Suara Lena yang masuk membuatku terkesiap.

"Ah, sudah selesai bayarnya?" Aku membentuk senyum tipis.

Dia mengangguk. "Kayaknya, gue misah sama lo deh, Ri. Pacar gue tiba-tiba bilang dia ada di dekat sini dan mau langsung ngajak jalan."

Ah, tidak. Jika Elena pergi maka aku akan sendirian di luar ruangan, di luar rumahku, di luar tempat aman. Aku harus segera pulang.

"Ri? Hallo, Ri?"

"Oke. Nggak apa kok. Enjoy yah kecannya!" Tanpa menyurutkan senyuman, aku balik kanan dan berjalan keluar dari toko buku.

Kakiku melangkah cukup cepat, sampai napasku jadi ikut tidak beraturan. Tetapi, aku harus cepat sampai rumah, jadi kuabaikan jantungku yang berdetak cepat karena tiba-tiba bekerja dengan sangat keras. Aku tidak boleh lama-lama ada di luar rumah sendirian—karena dia akan datang.

Hai, Riri.

Butuh sepuluh menit jalan kaki, untukku tiba di rumah. Aku segera membuka pintu dengan gemetar, kemudian masuk dan menguncinya lagi. Tubuhku segera ambruk ke bawah. Aku mengatur napas dalam posisi duduk diatas lantai dingin.

Kau sudah tahu ya aku akan datang?

Aku tidak ingin menjawabnya. Aku berusaha fokus mengatur napasku yang malah semakin tidak bearturan karena kepanikanku sendiri.

GenreFest 2018: AngstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang