In Some Winter Night

979 129 13
                                    

KETIKA SENJA datang dan warna nilai mulai memayungi, seluruh orang tua akan menyuruh anak-anaknya untuk menutup jendela serta gorden kamar. Mereka dilarang keluar rumah atau sang monster akan datang untuk menculik mereka, menjadikannya makan malam. Kisah-kisah yang dinyanyikan oleh orang yang dituakan terkadang terlalu berlebihan, membuat anak yang berusia di bawah lima belas tahun lebih sering tak bisa terlelap, dan menganggap telah mendengar suara-suara aneh di luar jendela kamar mereka.

Pendengaran mereka tidak salah, sebenarnya. Karena sosok itu selalu ada di balik jendela. Dia mengintip, memerhatikan seorang bocah berlari ke kamar orang tuanya karena takut. Lagi, sosok itu menghela napas dan berjalan ke tempat tinggalnya jauh di dalam hutan.

Bersenang-senang di malam hari tampaknya sudah tercoret dari kamus harian kota itu. Rasanya sudah begitu lama sejak penduduk kota memperbolehkan anak-anaknya untuk pergi ke luar rumah setelah matahari terbenam. Mungkin lebih dari sepuluh tahun yang lalu; di hari ketika dia mendapati kutukan yang tak bisa disembuhkan.

Berapa usianya waktu itu? Sepuluh tahun? Sebelas? Ia terjaga di dalam bayang-bayang hutan, tanpa rembulan yang tampak. Embun pada rerumputan di malam musim semi membuat kakinya basah dan dingin. Ia terjaga namun tidak bisa melihat. Terlalu gelap, terlalu sunyi. Dia bahkan lupa kenapa dirinya bisa berada di sana.

Kepalanya sakit dan ia sendiri bahkan kesulitan untuk mengingat namanya. Nama-nama asing ia lafalkan dari bibirnya, berusaha mengecap konsonan dengan lidahnya. Valds? Lad? Vilda? Kepalanya terlalu pening untuk mengingat, langkahnya sendiri tak stabil. Tergopoh, bocah itu mengikuti ke mana kakinya pergi membawanya. Cahaya mulai tampak, mata bocah itu kembali berbinar. Ia tidak tahu semua orang di kota telah mencarinya selama tujuh hari.

"Valdis!"

Valdis. Ah benar, itu namanya. Bagaimana ia bisa lupa? Ia ingat bagaimana seorang wanita berlari menghampirinya dengan penuh air mata. Wanita itu berambut coklat gelap dengan mata sebiru langit. Hanya dengan penerangan dari cahaya obor, Valdis tahu ibunya terlihat begitu cantik. Hanya saja langkahnya tertahan ketika melihat sosok Valdis saat ia kembali. Sebuah kilat kengerian terlihat dari pantulan matanya.

"Kamu siapa?" desis ibunya, "Bukan, kamu itu apa?"

Valdis menghela napas. Mengapa ia harus teringat akan masa lalunya setelah sekian lama? Seingatnya kejadian itu tertera di lini masa lebih dari lima belas tahun yang lalu, tapi terasa lebih lama dari itu. Apakah sudah seabad lebih? Ia... benar-benar lupa.

Ketika ibunya pergi untuk selamanya untuk menjadi bintang di langit, Valdis tidak menyadarinya. Rumahnya kosong saat ia datang ke sana setelah diusir untuk sekian lama. Walikota mengusirnya, menganggap kutukannya telah mencemari udara, membuat orang-orang mati tersedak karenanya.

Kutukannya tidak menular. Valdis sangat paham akan hal itu. Semua orang tahu akan hal itu, bahkan ibunya yang telah mengusirnya. Alih-alih api berkobar, obor dilemparkan, pedang diacungkan. Penduduk kota membenci Valdis hingga ke sum-sum tulang. Rumah ibunya dibakar, hangus hingga tak ada lagi kesuburan yang bisa ditunasi tanaman. Tak ada rumah baginya. Hanya dia dan kutukannya dan tempat bernaung jauh di dalam hutan.

Monster, orang-orang bilang.

Enyah!

Makhluk terkutuk!

Awalnya hanya lengannya yang berganti wujud; tak lagi berukuran normal dan berwarna kulit seperti manusia. Semakin ke ujung tangan, ukuran lengannya semakin besar, ditumbuhi dengan bulu lebat yang pendek dan kasar berwarna hitam kecokelatan. Jemarinya pun mengambil wujud cakar beruang yang telah ratusan kali mengoyak tubuh orang-orang secara disengaja maupun tidak disengaja. Awalnya, ibunya bersikeras bahwa Valdis bisa disembuhkan. Ia masih belia saat itu dan ia masih percaya atas namanya keajaiban.

GenreFest 2018: AngstWhere stories live. Discover now