End.

641 102 4
                                    

Pernahkah kalian bangun dan mendapati waktu kalian di dunia ini akan segera habis? Percayalah, ada alasan kenapa manusia tidak mengetahui waktu mereka. Karena saat mengetahuinya, seberapa lama pun waktu yang kalian punya, akan sangat terasa menyakitkan. Aku tahu, karena aku mengalaminya.

Di sini, di kota ini, semua orang akan tahu saat mereka harus pergi.

***

Pip pip pip pip

Pip pip pip pip

Pip pip pip pip

Tanganku bergerak dengan malas ke arah nakas untuk mematikan jam beker yang berisik itu. Dengan mata yang madih terpejam, aku bangun dan duduk di pinghir kasur dengan kaki menggantung, menguap sebentar sebelum akhirnya berjalan ke kamar mandi seperti zombie.

Saat air dingin menyentuh mukaku, dengan segera rasa kantuk pergi. Kupandang wajahku di cermin di depanku, benar-benar zombie. Tidak ingin berlama-lama, aku segera menyelesaikan bersih-bersih pagiku dan bersiap pergi ke sekolah.

Kotaku merupakan kota kecil di kaki gunung. Saking kecilnya, kami bisa saling mengenal satu sama lain antara seluruh penduduk kota. Bahkan mungkin kotaku lebih bisa dibilang desa daripada kota.

Aku sendiri hanya seorang gadis SMA di satu-satunya sekolah di kota ini. Orangtuaku telah meninggal akibat longsong di kebun dekat gunung beberapa tahun yang lalu. Aku tidak sedih, memang akan ada saatnya mereka pergi, entah kapan pun itu. Hidupku sehari-hari bergantung pada pemberian tanteku dari kota sebelah dan pekerjaan paruh waktuku. Tidak susah, hanya butuh sedikit berhemat.

Saat aku ingin menutup pagar dan berangkat sekolah, mataku tidak sengaja menangkap sebuah amplop di kotak suratku. Milik siapa? Seingatku tidak ada pernah mengirimiku surat sebelumnya. Kusimpan surat itu ke dalam tas karena memang aku harus segera bergegas ke sekolah.

Di sekolah semua orang tampak memandangku dengan tatapan yang menyeramkan. Seperti prihatin dan....menyeramkan. Aku duduk di tempatkumasih dengan perasaan aneh. Tidak biasanya mereka seperti ini.

Seorang laki-laki, Ryota, menghampiriku dan menepuk bahuku sekali. Tatapannya masih sama seperti yang lain. Ada apa sebenarnya ini?

"Apa kabar?" tanyanya aneh.

"Apa kabar? Apa maksudmu?"

"Tidak. Hanya...penasaran." jawabnya kaku.

Mataku menyipit melihat tingkah anehnya. "Kau benar-benar tidak pandai berbohong. Kau tau itu, kan?"

Ia menghela napasnya sekali sebelum menatapku dengan sendu. "Kami tau bahwa kau akan pergi satu minggu lagi. Kami benar-benar minta maaf kalau kami punya salah padamu. Sungguh, kau adalah teman terbaik kami."

Aku semakin bingung dengan semua ini. Pergi? Pergi ke mana? Kualihkan pandanganku ke seluruh penjuru kelas. Mereka masih menatapku iba, bahkan ada dua anak yang menangis begitu bertatapan denganku. Apa ini?!

"Aku... Aku tidak mengerti. Apa maksudmu? Hei, kalian ini kenapa?"

"Kau tidak tau? Tidakkah kau menerima tanda dari-Nya?" tanya Ryota.

Mataku membulat mengingat surat yang tadi kutemukan di kotak surat. Dengan cepat kuambil surat itu dari dalam tas dan membacanya dengan cepat, tanpa suara.

Badanku langsung lemas saat melihat sisa waktuku di surat itu. Tujuh hari. Hanya tujuh hari yang kupunya untuk hidupku. Aku tahu bahwa semua manusia pasti akan mati, tapi aku sama sekali tidak menyangka akan secepat ini. Air mataku menetes sedikit demi sedikit. Terus menetes hingga aliran derat air mata jatuh menuruni pipi. Seketika anak-anak di sekitarku memelukku dengan erat dan menangis dengan keras.

GenreFest 2018: AngstWhere stories live. Discover now