Jujur dan takabur itu ...

1.2K 38 6
                                    

Aku berhasil melawan obsesi.

Dua remaja seusiaku menawan diri dengan kertas penuh coretan yang mereka ciptakan, hasil rangkuman materi untuk diperjuangkan hari ini. Bibir keduanya komat-kamit berusaha menghafal dan memahami. Hari pertama penilaian akhir tahun yang sebenarnya tidak pernah diinginkan, harus tetap dilaksanakan.

Setelah lima puluh tiga menit bel masuk berbunyi, setelah melewati menit dengan sunyi, kini grasak-grusuk mulai berpendar ke seluruh penjuru kelas.

"Pssst, nomer 5!"

"D."

"Heh, nomer berapa yang belum?"

"27 sampe 31."

"A, C, D, A, B."

"Sudah nak, jujur! Kalo nggak bisa ya bismillah di awur, nggak apa kalo nilai jelek."

Peringatan dan semua bentuk kepedulian pengawas seperti angin, ada, tapi tidak dianggap.

Kedua remaja yang tadi mempersiapkan diri pun, kini bukannya mengerjakan soal, justru dikerjakan oleh soal-soal. Mereka meringis, kesulitan memilih jawaban. Dahi dan lehernya berkeringat. Sejujurnya, mereka mendengar semua kejanggalan yang sudah diwajarkan oleh semua golongan itu. Namun, mereka memilih diam, mempertahankan kepercayaan.

Aku berhasil melawan obsesi.

Hari demi hari masih sama. Namun, ada sebuah kebanggaan di kelas ini. Sebuah keyakinan bahwa bekerja sama dengan teman masih lebih mulia dari pada menjelajahi jawaban melalui dunia lain yang membutuhkan kuota.

Sayangnya, kebanggaan itu tanpa sadar menjerumuskan.

Aku berhasil melawan obsesi.

Aku hanya berusaha menjadi yang diinginkan orang tua. Aku hanya tidak ingin mengecewakan mereka. Aku hanya berusaha meraih cita. Dari sekarang. Dengan rapor bagus tanpa angka merah.

Tanpa angka merah.

Angka merah.

Memang mau bagaimana lagi, angka itulah yang mengukur kemampuanku!

Aku berhasil melawan obsesi.

"Sekarang saatnya berpikir cerdas bukan bekerja keras," katanya, setelah membuang kertas contekan itu.

Jangan salah paham, yang mengatakan ini masih punya pertanggungjawaban.

Delapan hari sudah berakhir. Tidak ada lagi yang memaksakan otak untuk berpikir. Dua gadis telah mengerahkan semua yang mereka bisa. Mereka percaya, mereka benar. Mereka merasa mereka benar. Lebih benar dari teman kelasnya yang membantu sesama.

Semua siswa di kelas tadi juga percaya, mereka benar. Setidaknya lebih benar dari kelas lain yang meminta bantuan dunia lain.

Dan semua kepercayaan itulah yang menjerumuskan.

Merasa paling benar, apa tidak takabur?

Bukankah tidak ada yang mau disalahkan? Jadi kita tahu bukan apa yang harus dilakukan.

Dan, saatnya berpikir cerdas bukan bekerja keras. Apa menurutmu kecerdasan berarti menemukan cara untuk menipu?

Aku berhasil melawan obsesi.

Obsesi mendapat angka terbaik dengan cara tidak baik.

Sekarang, jika kamu memilih seperti dua gadis tadi, di saat rapormu dibagi, dan hasilnya ada angka yang membuatmu menyalahkan diri sendiri, membuatmu merasa gagal dalam belajar, membuatmu merasa sia-sia bersikap jujur, membuatmu mulai iri dengan mereka, ingatlah apa yang pernah dikatakan oleh Abu Sulaiman,
"Jadikanlah kejujuran sebagai kendaraanmu, kebenaran sebagai senjatamu, dan Allah sebagai tujuan hidupmu."

Mari kita pikirkan, jika kita memilih seperti siswa kelas tadi. Saat rapor dibagikan, hasilnya cukup memuaskan, tidak ada yang perlu diulang karena angka menunjukkan di atas rata-rata. Namun, masih ada rasa iri pada kelas lain yang pasti nilainya lebih melonjak tinggi. Dengan kata lain, ada untung ada rugi. Niat kelas ini baik, tidak ingin mengecewakan orang tuanya, tapi, apa orang tuanya tidak akan kecewa jika tahu yang sebenarnya?

Satu lagi, jika kita memilih seperti kelas lain, yang hasil dari usaha dunia lainnya mendapat nilai memuaskan. Tidak ada yang perlu di iri. Tidak ada yang perlu disesali. Untuk sekarang.

Tapi, nanti?

Mari kita pikirkan lagi, jika puncak dari semua angka itu adalah pekerjaan yang diinginkan, orang tua yang dibuat bahagia, maka mari kita ingat lagi, itu semua hanya puncak dunia, maka bagaimana dengan puncak akhirat? Apa usia kita akan selama itu untuk mendapatkan puncak dunia? Bagaimana kalau tidak, apa yang berhasil kita dapat untuk akhirat?

Kita tahu yang dilarang berarti dosa, jadi sekarang kita pun tahu jawabannya.

Mari kita buktikan bahwa,
Kita berhasil melawan obsesi.

____


Hai, mau cerita sedikit, ya. Mungkin setelah kamu baca ini akan ada pertanyaan seperti, "Emang penulisnya sesuci itu?" Nope, of course.

Aku juga pernah ada di posisi itu. Aku pernah beralibi itu semua karena terdesak atau bentuk kerja sama lumrah antar teman.

Namun, aku menulis ini bukan semata-mata karena aku sudah benar, bukan.

Ketika SMA aku berusaha tidak mencontek, khususnya di ujian besar. Dan, apa yang terjadi, nilaiku rendah sekali. Lantas apa orang tuaku kecewa? Jelas.

Apa aku kecewa? Pasti, tapi aku lega sekali karena Tuhan tidak pernah mengecawakan. Nyatanya aku berhasil lolos seleksi PTN dengan usahaku sendiri. Mungkin teman-teman yang lain bisa dengan mudah lolos melalui jalur rapor, sementara aku masih harus berjuang mati-matian, tapi hei, pada akhirnya aku masih bisa sampai ke tempat yang sama bukan?

Jadi, semangat kamu, mungkin dunia perkuliahan memang tidak begitu memungkinkan untuk mempermasalahkan mencontek atau tidak, karena ya, apanya yang ingin dicontek? Kita semua membuat paper yang jelas tidak sama :)

Akhir kata, percaya ya, semua ada balasannya, Tuhan kita nggak akan mengecewakan. Semangat, teman-teman!

Ranjau Pendidikan 3/3 EndWhere stories live. Discover now