Chapter 44

2.7K 185 24
                                    

'Why you playing games? What's this all about? And I can't believe you're hurting me.'

-Keyshia Cole-

Sepertinya sudah lama aku tidak mengabari atau mendengar kabar Emilia. Semenjak dipaksa tinggal bersama Andre, rasanya hubungan dengan sahabatku sedikit merenggang. Oke, kami memang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, termasuk aku harus menyesuaikan diri di tempat bisnis Andre. Atau karena insiden demi insiden terjadi sehingga kami benar-benar tidak bisa berkomunikasi secara bebas. Sering kali aku terjebak dalam pikiranku sendiri dan ketika mencoba merangkak keluar, Andre yang menyambutku.

Meski begitu, aku benar-benar merindukan Emilia. Rindu bagaimana kami bercanda bersama, menonton siaran televisi atau film sampai bosan, masak bersama, atau sekadar berbaring tanpa melakukan apa pun. Sekarang, kami tidak lebih dari orang asing yang saling bungkam walau sering melihatnya di layar televisi untuk menyiarkan berita. 

Kini, selagi ada waktu untuk memulihkan kepala akibat cedera kemarin, aku menghubungi Emilia dan berharap dia segera menjawab telepon. Aku resah. Benar-benar resah tentang keadaannya di apartemen kami. Apakah dia makan dengan benar. Apakah dia tidur nyenyak. Apakah hubungannya bersama Sam berjalan baik. Jikalau Tuhan memberi waktu, ingin sekali aku meminta waktu sehari penuh agar kami bisa saling bertukar cerita dan merangkul bahwa tidak perlu ada yang ditakutkan selama ada sahabat. 

"Hei, Em?" panggilku setelah mendengar suaranya. "Lama tidak mendengar suaramu."

"Sorry. Aku ... sangat sibuk," jawabnya terdengar meragu. 

"Are you okay?" tanyaku menangkap keresahan dari suara Emilia. "Apa kau punya waktu? Aku ingin kita bertemu."

"Di mana? Mungkin coffee shop yang ada di perempatan jalan apartemen kita? Aku butuh beberapa cangkir kaffein," tandasnya. 

"Bisakah kau datang ke sini? Aku ... merasa tak nyaman berada di luar." Aku menggigit bibir bawah dan meremas celana longgarku ketika kilasan Billy menyerang di gudang terlintas. 

"Ada apa? Tidak terjadi sesuatu yang buruk kan?" Emilia tampak terkejut. "Baiklah, aku akan ke sana, Lizzie. Apakah Andre di sana?"

"Tidak. Katanya dia akan lembur. Dia bilang ingin mengundangmu ke sini untuk menemaniku, semacam pesta piama berdua?" ucapku mengelus tengkuk leher. "Banyak hal yang perlu kita bicarakan, Em."

"Oke, tunggu aku. Mungkin setengah jam aku akan sampai di sana," tandasnya lalu menutup sambungan telepon. 

Selesai menyiapkan camilan dan makan siang dibantu Betty, aku menyambut kedatangan Emilia. Kami berpelukan cukup lama bagai dua manusia yang terpisah selama puluhan tahun. Namun, penampilan gadis itu sungguh berbeda. Dia hanya mengenakan celana pipa cokelat gelap dengan kemeja putih dan blazer senada. Riasan mencolok tak lagi menghiasi wajahnya melainkan lingkaran hitam di bawah mata juga kerutan-kerutan tipis di sudut bibir dan kening. Dia juga tampak jauh lebih kurus padahal seingatku kami tidak bertemu sekitar beberapa minggu sejak Andre membawaku ke Manhattan lagi. Rambut blonde yang biasanya terlihat bercahaya dan rapi kini berantakan, serta sinar mata yang biasanya ceria kini memudar.

Apa yang terjadi pada sahabatku ini?

"Kau terlihat sangat buruk, Em," komentarku. "Duduklah di kursi balkon dulu akan kuambilkan makanan dan minuman." Aku menunjuk balkon luas yang dibatasi dinding kaca dengan ruang tamu. Di sana kami bisa merelaksasikan diri seraya melihat bangunan-bangunan pencakar langit di sekeliling penthouse milik Andre, apalagi langit juga tampak cerah di luar. Berharap apa pun yang sedang menggelayuti Emilia akan segera sirna. 

Semoga saja. 

"Masalah pekerjaan," jawabnya bergerak menuju balkon. "Ke mana semua orang?" tanya Emy dengan nada setengah teriak.

Sealed With A KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang