Chapter 5

29.9K 1.3K 34
                                    

"I wish there were a way to show you my love is real."
-The Moffatts-

Wajahku masih sama, terlihat pucat dengan mata panda yang makin kentara sementara tubuhku ... rasanya beberapa hari ini tidak ada angan untuk makan selama mimpi buruk itu terus datang. Ditambah kejadian lusa kemarin, di mana pria gila yang suka memaksa kehendak yang tidak tahu privasi itu menciumku!

Ya! Menciumku! Kau pasti kaget kan? Apalagi aku? Kecupan singkat akibat rasa penasarannya terhadap sikap dinginku berbuah dengan ketidaksadaran diri ini. Ketty bercerita banyak setelah aku dibopong oleh si bos besar ke ruang kesehatan karyawan. Antara kasihan dan ingin tertawa, Ketty mengolokku bagaimana bisa seorang gadis pingsan setelah dikecup pria tampan sekelas Mr. Jhonson.

"Sepertinya aku alergi dengannya," timpalku asal.

"Kau tahu betapa pucatnya dia ketika kau tak sadarkan diri seperti dicium dementor, Elizabeth," bisik Ketty mendekatkan bibir berpulas lipstik merah itu di telinga kiriku. "Dan ... ada gosip lagi antara kau dan dia. Mereka bilang bahwa kau merayunya."

"Gila! Mana mungkin aku melakukan hal murahan itu!" tegasku

Percuma saja menyangkal gosip yang terlanjur menyebar seperti virus mematikan. Begitu keluar dari ruang kesehatan, ratusan pasang mata langsung tertuju padaku seperti lampu sorot. Walau tak melontarkan sindiran tapi dari raut wajah-wajah itu, bisa kubaca bahwa mereka menuduhku sebagai penggoda Mr. Jhonson--pria penguasa Jhonson Corp yang menjadi incaran banyak wanita.

Jika kalian ingin menelan si Jhonson bulat-bulat, lakukan saja. Kenapa harus melototiku?

Kugelengkan kepala, menepis bayangan itu untuk menemui dokter Margaretha. Tidak disangka, justru dia jauh-jauh ke New York dan menyewa sebuah hotel untuk kami berbicara berdua. Dia benar-benar sangat baik.

Mataku menangkap Emilia sedang menonton siaran televisi sambil memangku keripik kentang. Tatapan kami bertemu sejenak tapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Sudah hampir ... mungkin seminggu kami tidak saling berbicara. Suasana apartemen menjadi panas layaknya neraka, sepi seperti pemakaman. Padahal biasanya Emilia bakal mengeluarkan apa pun yang ada di dalam kepalanya.

"Em?" panggilku. "Sampai kapan kita seperti ini?"

Dia mengedikkan bahu tanpa menoleh ke arahku. Ini menyakitkan hati karena kami sudah kenal lama sebagai teman satu kamar. Belum pernah Emilia semurka ini padaku. Oke, mungkin aku harus mengakui bahwa aku salah tapi bukankah privasi itu dibutuhkan?

"Aku ... tidak bisa menceritakan hal itu kepadamu saat ini, Emilia," ucapku lagi, "tolong mengertilah."

Dia menaruh mangkuk berisi keripik di atas meja dengan kasar, mematikan siaran Oprah kemudian beranjak, "Kau ini menganggapku apa? Jika kau menganggapku orang asing, aku akan hengkang dari sini, Elizabeth! Lebih baik kita tidak saling kenal satu sama lain jika kau--"

"Aku takut Emilia!" seruku gelisah. "Kau tidak mengerti!"

"Then tell me!" suaranya makin meninggi, mata birunya berapi-api seperti bersiap membakar yang ada di sini. "I trust in you, but you don't! Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku melihatmu setiap malam berteriak seperti orang gila, Elizabeth!"

Kudekati dirinya namun dia menjauh, membuang muka seakan muak denganku.

"Akan ada saatnya aku akan menceritakan padamu, Em, bukan sekarang ... akan ada saatnya ... aku sungguh minta maaf," kataku lirih kemudian pergi meninggalkannya dengan mata berkaca-kaca. Hatiku sakit dengan pertengkaran kami. Sungguh tidak ada niat untuk menyembunyikannya. Hanya saja aku takut dia akan menjauhiku setelah tahu jika temannya yang sok polos dan anti-sosial adalah perempuan hina yang tubuhnya sudah tidak suci lagi.

Sealed With A KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang