Chapter 7

26K 1.2K 22
                                    

'When you're too in love to let it go. But if you never try, you'll never know'.

-Coldplay-

Ya Tuhan, seberapa banyak sebenarnya uang yang dimiliki oleh si Jhonson? Batinku menganga seperti Cinderella yang diajak ke dalam istana kala menjejaki lobi penthouse  keluarga Jhonson di Madison Avenue. Kedua mataku tak bisa menyembunyikan rasa kagum saat melihat interiornya yang terlihat mewah dan berkilau memantulkan cahaya. Lihat saja, di lobi sudah ada beberapa patung, ornamen, hingga deretan lukisan abstrak yang harganya pasti bukan main. Lantai dan dindingnya dari bahan marmer yang mengilap. Siapa pun yang membuat bangunan ini, aku harus memberikan hormat kepadanya. Di masa depan, kelak aku ingin memiliki rumah seperti ini.

"Awas ada lalat masuk, jika mulutmu terus seperti itu," bisik Mr. Jhonson di telinga kananku.

Refleks bibirku terkatup, dia malah terbahak-bahak. Maka dari itu, kutepis genggaman tangannya yang tidak ingin lepas sedari tadi. Tunggu! Dia memegang tangan dan aku tidak pingsan? Ini ajaib! Apakah tubuh ini sudah terbiasa dengan kehadiran lelaki? Ah, tidak, kurasa bukan. 

"Selain aneh, kau suka senyum sendiri." Mr. Jhonson membuyarkan ulasan senyum di bibir, lantas menarik tanganku kembali. "Jangan lepas genggamanku. Aku ingin kau terbiasa setelah penolakan yang kuterima berulang kali."

"Jangan sok tahu," dengkusku berusaha melepas genggamannya kembali namun tak berhasil.

Kemudian, kami disambut lelaki berpotongan cepak dengan tubuh tinggi besarnya yang memakai jas berwarna navy tersenyum hormat. Jika boleh menebak, mungkinkah dia adalah satu petugas keamanan atau bodyguard yang sengaja disewa oleh keluarga kaya ini?

"Selamat sore, Mr. Jhonson."

"Semua aman?"

"Aman, Sir,"  jawab laki-laki itu.

Dia mengangguk dengan angkuh layaknya lelaki pemegang kendali, lantas tangannya berpindah ke pinggangku merengkuh posesif. Refleks saja kutepis tangan nakal itu walau dokter Margaretha dan Emilia menyarankan untuk tetap menghadapi dirinya sebagai sumber mimpi buruk. Sesama kepala batu, dia enggan mengibarkan bendera putih dan tetap melakukan apa yang dia inginkan. 

"Kau tahu Ms. Khan? Aku pernah membaca salah satu buku di mana memeluk pinggang wanita bisa menurunkan stres. Apalagi berpelukan, dan--"

"Ralat, mungkin yang kau maksud bukan memeluk tapi mencengkeram," selaku menyingkirkan tangannya lagi. "Dan aku bukan wanita stres seperti yang kau pikirkan. Oke?"

Pria itu tertawa lalu ekspresinya berubah datar, "Oh benarkah? Atau alasan lesbian lagi yang kau gunakan untuk menghindari diriku?"

"Aku memang seperti itu, kau salah jika menyukai seorang lesbian." Kutinggalkan dia mendahului masuk ke dalam lift.

Ah, sial!

Beberapa orang masuk bersama Mr. Jhonson hingga posisiku hampir tersudut. Untungnya ada seorang perempuan berusia sekitar lima puluhan dengan berpakaian glamor berdiri di antara kami berdua. Namun, jika dilihat-lihat rasanya kepala ini mulai berputar mendapati ada lima pria bertubuh tinggi besar berdiri di depanku. Meski berdiri di sudut lift, entah kenapa dada ini mendadak kembali sesak, terlebih salah satu dari mereka berpaling ke arahku menatap gaun 'yang hampir telanjang' ini. Kerlingan mata mereka semakin membuat gelisah, tanganku meremas clutch, pandangan semakin lama semakin kabur. 

Aku ingin pingsan....

Detik berikutnya, tubuh Mr. Jhonson mengimpit tubuhku di antara dua lengan kokohnya. Kami bertatapan sejenak, wajah pucatku terpantul jelas di iris biru samudranya itu. Gelombang tadi kini berganti dengan gelenyar mirip sekumpulan lebah yang memenuhi lambung. Tapi, sensasi itu tidak menyurutkan rasa pening yang semakin menjadi-jadi. 

Sealed With A KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang