Chapter 28

16.4K 871 61
                                    

'You've made so desperately in love and now you let me down.'

–Ten2five-

"Ayah?" teriakku saat mendapati sosok George tengah berdiri di suatu ruangan putih bersih dengan cahaya menyilaukan yang bersinar dari belakang. Dia terlihat seperti sedang mengacungkan salah satu mantra Harry Potter sampai-sampai mataku memicing kesakitan. Apakah di sini juga ada dementor? 

"Ayah?" panggilku lagi. Sayangnya sosok itu hanya mematung di sana seolah suara putri kesayangannya tak berarti. Aku mencoba berjalan cepat lalu berlari semakin lama semakin cepat seperti seseorang yang tertinggal bus sekolah. Tapi George malah menjauh sambil tersenyum tanpa dosa. "Ayah!"

Napasku tersengal-sengal sementara lelaki paruh baya itu tampak biasa-biasa saja. Dia tersenyum manis, matanya yang cokelat sedikit gelap itu bersinar seperti permata. George melambai mengisyaratkanku datang. Aku menggeleng sambil berkata, 

"Kenapa kau menjauh? Kau tahu, banyak hal yang ingin kuceritakan padamu, Ayah!" 

Dia mengangguk sambil tersenyum. Wow, apakah dia tahu isi pikiranku? Sekarang mataku yang berkaca-kaca kemudian merentangkan kedua tangan. Ah, andai tubuhku mudah melar seperti karet, sungguh kuingin menarik dirinya dan mendekap erat tuk mencurahkan segala kerinduan akan sosoh ayah terhebat di dunia. Aku ingin mengadu kalau di dunia yang kutempati adalah dunia payah yang tidak pernah memihak pada gadis kecil ini. 

"Aku ... aku benci hidupku, Ayah ... kau harus tahu." Suaraku terdengar terbata-bata bersamaan dengan air mata yang meluncur membasahi pipi. Di depannya, setua apa pun tubuh ini, aku masih merasa gadis kecil yang selalu menangis kalau ada seseorang yang menyakiti. "Aku benci sampai ingin sekali mati untuk berjumpa denganmu. Tapi ... Tuhan tidak pernah adil, Dia tidak rela aku mati sekali pun aku berusaha keras."

Semakin deras isak tangis sampai napas makin ngos-ngosan,  George hanya berdiri di sana tanpa melakukan apa pun untuk menenangkan putri kesayangannya seperti dulu. Padahal, saat aku kecil dan terjatuh dari sepeda, ayah akan memelukku erat dan mengatakan semuanya akan berlalu. Nyatanya sekarang ... dia membisu. Mendongakkan kepala dan menangkap guratan wajahnya menjadi sendu dan penuh kekhawatiran. 

"Ayah?"

"Kau boleh membenci semua orang, tapi jangan sekali-kali kau membenci hidupmu dan berpikiran untuk mengakhirinya," katanya membuatku bungkam. "Apa yang kau alami sekarang bukanlah akhir segalanya Lizzie. Kau akan bahagia pada waktunya. Kau hanya harus bertahan sekali lagi. Oke?"

Bertahan sekali lagi...

Bertahan sekali lagi...

You'll find your happiness...

"Ayah!" pekikku membuka kedua mata dan mendapati diri ini berada di kamar yang gelap bukan terang benderang.

Aku mimpi lagi.

Mengusap wajah dengan gusar lalu bangun seraya melihat detak jam di dinding yang masih menunjukkan pukul satu pagi. Kulangkahkan kaki menuju jendela kamar yang menampakkan rumah-rumah yang terlihat begitu sepi dengan suara hewan malam yang saling bersahutan membentuk sebuah melodi di telinga. Memandangi bayanganku melalui kaca jendela, lantas meraba tulang selangka yang makin kentara dan berhenti pada bekas luka sambil memejamkan kedua mata. Bayangan Andre dan Billy datang bersamaan setiap menyentuh kenangan pahit ini, membangkitkan rasa benci yang makin hari makin membesar dan berubah menjadi fobia.  

Menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan seraya melangkah kembali ke kasur. Kurebahkan tubuh untuk mencoba memejamkan kedua mata lagi. Namun, hingga beberapa menit berlalu, aku tidak bisa dibuai kembali oleh mimpi-mimpi manis untuk bertemu George. Aku tersenyum nanar, kenapa di saat seperti ini justru pikiranku penuh dengan sosok Andre sekarang?

Sealed With A KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang