Aku tak peduli, sudah cukup peringatanku kali ini, kubalikkan badan dan mulai berjalan meninggalkannya.

"Nisa!"

Kuatur napasku yang memburu karena amarah.

Ya Allah, maafkan aku.

"Aku belum selesai bicara."

Kubalikan badan, lalu mendekatinya lagi. Namun, kali ini aku tidak duduk.

"Apa lagi?"

"Biar dia yang memutuskan."

"Maksudmu?"

"Pertemukan aku dengannya," tantangnya. "Biar dia memutuskan, siapa diantara kita yang dia pilih."

Aku menggeleng tak mengerti. Sungguh lelaki keras kepala. Ini bukan perkara siapa milih siapa, tetapi ini tentang sebuah pilihan hidup yang benar. Kalau pun Mas Adam memilihnya, aku orang pertama yang akan mengingatkan bahwa jalannya salah.

"Deal?"

Aku tak habis pikir lalu menggeleng pelan. Tanpa menggubrisnya, aku pergi dari sana.

"KALAU KAMU YAKIN ADAM MENCINTAIMU, KAMU TIDAK PERLU TAKUT, NIS! ITU TANDANYA KAMU TAKUT! KAMU LEMAH!"

Aku tahu dari nada bicaranya Jason marah dan kecewa, mungkin ia juga frustasi

Aku menghentikan langkah, mencoba menelaah apa yangdikatakan Jason, "Apa benar aku lemah?"

Jason mendatangiku.

"Nis! Look!"

Ia berdiri di depanku dan menunjukkan ponselnya. Sebuah pesan yang ia tulis dan dikirim ke ponsel Mas Adam.

"Dia sudah tahu kita bertemu hari ini.

Mau atau tidak mau, kamu harus menceritakan permintaanku padanya. O ya..." Jason menggigit bibirnya, "Katanya kamu wanita salihah, berarti kamu tidak boleh berbohong, dong ya? Tapi sepertinya Adam memang benar-benar salah pilih istri."

Tak kuhiraukan ocehannya. Aku lebih memilih pergi dari sana. Seolah tak peduli dengan sekitar, dia tertawa seolah berada di dalam goa. Menggema hingga berhasil menggerus harga diriku. Berulang kali aku mengucapkan istighfar agar aku tidak terpancing amarah, tanpa sadar, air mataku menghangat, dan setetes bulir bening mengalir di pipiku.

"Astaghfirullahaladzim."

*

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Mas Adam terlihat berdiri ketika aku datang. Aku tahu dia sedang menunggu.

Raut wajahnya menyiratkan bahwa ada banyak pertanyaan yang ingin segera ia muntahkan.

"Mas...."

"Duduk." Mas Adam menepuk sofa yang ada di sampingnya, dan memintaku untuk duduk.

"Nisa bisa jelaskan, Mas."

"Mengapa kamu harus berbohong, Nis?"

"Apa katanya? Boleh Nisa pinjam ponsel, Mas Adam?" Mas Adam menyerahkan ponselnya kepadaku tanpa ragu.

"Nis, Mas nggak pernah bohong sama kamu. Semua yang kamu tanyakan, semua yang ingin kamu ketahui, Mas ceritakan apa adanya. Nggak ada yang Mas tutupi."

"Maafkan Nisa, Mas. Mas tahu Nisa, kan? Rasanya Nisa nggak bisa hanya berdiam diri melihat orang lain berniat menghancurkan bahtera rumah tangga yang baru saja kita bangun, Mas."

"Nis, Mas tahu Mas ini nggak kerja. Tapia pa ya dengan begitu lalu kamu boleh pergi bertemu Jason tanpa bilang sama Mas?"

"Astaghfirullah, Mas. Jangan bilang begitu." Kututup bibir Mas Adam dengan tanganku, berharap Mas Adam tidak melanjutkan perkataannya lagi.

"Nisa minta maaf, Mas. Nisa benar-benar minta maaf." Kuciumi tangan Mas Adam, hingga dia merasa ridha atas sikapku.

"Mas sudah memaafkanmu sebelum kamu minta maaf, Nis." Mas Adam berdiri dan menarik tangannya, lalu masuk ke kamar.

Ada penyesalan mengapa aku membohongi suamiku, tapi... lelaki itu tak bisa dibiarkan.

Kususul Mas Adam ke kamar. Dia terlihat tidur memunggungiku. Kupeluk dia dari belakang.

Ya Allah, apakah suamiku se-marah ini?

"Aku tahu Mas belum memaafkan aku, kalau Mas memaafkanku, pasti tidak akan memunggungiku seperti ini."

Mas Adam membalikkan badan, lalu duduk. Aku tahu dia sedang marah. Tapi menurutku ini tidak boleh berlarut-larut. Entah mengapa, ada kekosongan di hati ini melihat suamiku marah. Sepertinya percuma aku pulang jika disambut dengan kemarahan.

Aku tersenyum pada suamiku. Kuselipkan jariku diantara jemarinya yang kukuh.

"Aku mau kita bicara, Mas. Aku akan ceritakan yang belum dia utarakan lewat whatsapp."

Mas Adam menoleh padaku. Aku bersyukur, Jason tidan berbicara banyak hal mengapa kami bertemu..

"Apa katanya?" Mas Adam menoleh padaku.

"Tapi janji, ya, kita bicara dengan kepala dingin. Tidak ada kemarahan, tidak ada prasangka diantara kita."

"Aku nggak pernah marah sama kamu, Nis."

"Terus tadi apa?"

"Oke, aku percaya sama Mas. Aku bertemu dengannya karena aku ingin memintanya menjauhi Mas. Ternyata dugaanku benar, dia masih ingin Mas kembali."

Mas Adam melihatku dengan tatapan kaget dan tidak menyangka.

"Tunggu, Mas. Biar aku lanjutkan, aku belum selesai bicara."

"Lalu?"

"Dia justru menantangku." Alis Mas Adam terlihat bertaut, "Dia ingin, kita bertemu bertiga, supaya Mas bisa memilih antara aku atau dia."

"Astaghfirullah, kamu bilang apa? Kamu tolak, kan?"

"Aku belum menjawabnya, Mas. Hanya saja...."Lidahku tiba-tiba kelu mengucapkannya.

"Hanya saja apa?"

"Aku ingin mempertemukan Mas dengannya."

"Aku nggak mau. Itu nggak mungkin terjadi."

"Mas ...." Aku mencoba meyakinkannya dengan semakin mengeratkan genggamanku, "aku tahu Mas akan memilihku. Tetapi, jika Mas menolak bertemu, dia tidak akan berhenti berharap, dan akan terus mengganggu kita."

Mas Adam bergeming.

"Mas mau kan kita terus hidup bersama-sama? Sampai hanya kematian yang memisahkan? Mas mau kan Allah ridha, sampai kita bertemu di jannah-Nya?"

"Tapi, Nis,-"

"Selesaikan apa yang telah Mas mulai. Nisa nggak akan meninggalkan, Mas." Aku melihat ponsel Mas Adam yang masih di genggamanku, "Tanyakan padanya, kapan ada waktu bertemu?" tanyaku seraya menyerahkan ponsel padanya.

ADAM DAN MADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang