4. Debaran dan Perasaan

Start from the beginning
                                    

"Iya, terima kasih ya Sus." Sesaat Naya beralih pada bundanya yang nampak seperti tubuh tanpa jiwa itu. "Bunda makan dulu, ya. Naya suapi."

Seketika kedua mata Fina membelok menatap Naya. "Kevin mana, Nay? Bunda kangen abangmu. Suruh abangmu ke sini," pintanya dengan memegangi kedua bahu putrinya.

Dengan sangat sabar Naya menjawab, "Iya, Bunda. Bang Kevin nanti ke sini, ya. Sekarang Bunda makan dulu."

Naya sudah menyodorkan sesendok nasi. Namun tiba-tiba Fina menjauhkan mulutnya. "Nggak mau. Bunda maunya disuapi Kevin," tolaknya, persis seperti anak seusia lima tahun yang hanya ingin disuapi oleh ibunya saja.

"Hari ini biar Naya yang suapi Bunda, ya. Soalnya Bunda harus makan. Kalau Bunda nggak mau makan, nanti Naya nggak mau ajak Bang Kevin ke sini." Naya berpura-pura mengancam, meski nada suaranya tetap terdengar lembut.

"Bawa Kevin ke sini, janji?"

Naya hanya mengangguk tanpa sanggup berkata apa-apa lagi. Setelah itu, barulah Fina mau membuka mulutnya, menarima suapan Naya.

"Suster nyokap lo ganti?" tanya Hellen, lantaran seingatnya, terakhir kali ia mengunjungi Fina, suster yang menjaga sudah rada tua.

"Iya. Suster Aini udah pensiun. Tadi itu penggantinya, Suster Diana," jelas Naya pada Hellen, seraya memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut bundanya.

Hellen memanggut samar.  "Oiya, gue boleh tanya nggak?"

"Tanya aja," Naya menyahut sembari menyiapkan suapan selanjutnya untuk Fina. "Tanya apa?"

"Apa yang bikin Bunda lo sampai dirawat di sini? Jujur ya, gue kaget sekaligus heran pas tahu kalau nyokap lo masuk sini." Melihat Naya terdiam, buru-buru Hellen meralat. "Eh, tapi kalau lo nggak mau cerita juga nggak masalah kok. Gue tau itu privasi lo."

Sambil tersenyum Naya menggeleng. "Nyokap gue masuk sini karena dia masih belum bisa menerima kepergian abang gue."

"Abang lo pergi ke mana emang? Jauh?" tanya Hellen, benar-benar tidak mengerti.

"Pergi ke sisi Tuhan," sahut Naya, tenang, seraya kembali menyuapkan nasi ke mulut bundanya.

"Eh, maaf banget, Nay. Gue nggak bermaksud―"

"Santai aja kali. Gue udah ikhlas, kok. Meski belum sepenuhnya," jawab Naya. "Awalnya bokap gue juga ragu untuk masukin nyokap ke sini. Tapi, we're have no any choice. Akhirnya satu minggu paska meninggalnya Bang Kevin, nyokap gue bener-bener dirawat di sini."

Hellen mengusap bahu Naya. "Lo yang sabar, ya. Gue yakin lo pasti bisa menghadapi ini semua. Nyokap lo pasti sembuh."

Skizofrenia paranoid. Itulah nama penyakit gangguan mental yang menyerang kejiwaan Fina, semenjak kepergian Kevin, putra pertamanya. Orang dengan penyakit tersebut cenderung mendengar suara-suara di dalam pikiran mereka dan melihat sesuatu yang tidak nyata. Suka berhalusinasi.

Tidak hanya itu, orang yang memiliki skizofrenia paranoid juga sering menunjukkan perilaku kacau yang menyebabkan diri mereka tidak dapat mengendalikan perilakunya. Akibatnya, pengidap skizofrenia paranoid sering berperilaku tidak pantas, sulit mengendalikan emosi, hasrat, serta keinginannya. Yang jelas, butuh waktu lama untuk masa penyembuhannya.

🌺

Pagi itu, Naya berjalan memasuki gerbang, menuju mading sekolah yang sudah dipenuhi banyak siswa dengan seragam berkerah kaku, alias baru! Semuanya kelas sepuluh. Tidak ada yang tidak. Saling berebut untuk mencapai posisi paling depan. Alhasil Naya hanya bisa berdiri di paling belakang, menunggu. Karena suka tidak suka ia harus mengantri dulu kalau ingin melihat paling depan. Dan yang paling menyebalkan, ada beberapa orang yang setelah melihat namanya, bukannya langsung minggir malah sempat-sempatnya mengobrol dulu di depan mading.

"Naya!" Pekikan seseorang yang memanggil namanya seketika membuat Naya kontan menolehkan kepala. Dilihatnya Sera dari kejauhan yang tengah berlari mengarah padanya. "Ke kelas bareng, yuk."

"Eh? Tapi gue belum tau kelas gue di mana."

"Kita sekelas. Gue udah cek kemarin sebelum balik."

"Lo IPA juga?"

Sera mengangguk semangat

"Yaudah, ayuk!" Kemudian Naya langsung menarik tangan Sera.

Bruk!

Dua orang yang saling bertubrukan tanpa sengaja, di tengah koridor seketika berhasil memancing perhatian banyak orang. Naya yang tidak tahu kalau ada seseorang yang berdiri di belakangnya, saat berbalik tubuhnya menubruk orang itu dengan kasarnya. Sampai-sampai ia mendapati tubuhnya kini menimpa tepat di atas dada seorang kakak kelas yang hanya ia kenali wajahnya saja. Tapi tidak dengan namanya. Sesaat Naya melihat ke arah bordiran nama yang terjahit di dada kiri cowok itu. Damar Naelandra.

Naya yang ingin terburu-buru justru malah membuat Nael sesak napas lantaran dadanya tertekan oleh tangannya. "Maaf, Kak― Aduh!"

Pada posisi masih telentang, dengan refleks kedua tangan Nael menahan kedua tangan Naya. Sehingga pergerakan gadis itu terkunci dan sama sekali tidak bisa bangkit dari posisinya.

Sepasang kornea mata berwarna cokelat milik Nael beberapa saat sempat membekukan sepasang bola mata Naya. Membuatnya tidak bisa barang satu detik pun untuk mengalihkan matanya sama sekali. Bahkan untuk berkedip pun rasanya sulit sekali. Pun dengan detakan jantungnya yang mendadak menjadi berkali-kali lipat lebih cepat, tidak terkendali. Padahal seingatnya, ia tidak memiliki riwayat penyakit jantung dalam silsilah keluarganya.

Terhitung sekitar lebih dari satu menit tidak ada satu pun dari mereka berdua yang bangkit. Keduanya saling diam melempar tatap. Sampai tak lama, ketika Sera menjulurkan tangannya untuk membantu Naya berdiri, Nael baru sadar bahwa dirinya dan gadis yang menimpa tubuhnya itu sedang menjadi pusat perhatian seantero sekolah di pagi hari.

"Maaf, Kak," ucap Naya sekali lagi.

Setelah berdiri, Nael segera berlalu menjauh dari tempat yang semakin meramai itu. Berusaha semaksimal untuk terlihat biasa saja di hadapan gadis itu, meski kenyataannya yang Nael rasakan benar-benar jauh dari kata biasa. Dadanya berdebar sangat cepat tidak terkendali.

===

To be continue...

mau liat mata cokelat terang Nael?

mau liat mata cokelat terang Nael?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Lost MemoriesWhere stories live. Discover now