10. Sayang katanya?

4.5K 408 85
                                    

Kegelisahan tengah menimpa Naufal saat ini. Keringatnya bercucuran di sekitaran dahi. Belum lagi matanya yang tak mampu menatap yang lain selain ponselnya. Ingin rasanya kabur dari kursi yang tengah ia duduki. Namun sayang tatapan mematikan dari orang di depannya membuatnya urung untuk kabur.

"Jawab bang!" Itu Dudung yang bicara. Masih dengan tatapan kelewat tajam. Seolah matanya itu berlaser dan bisa mengoyak tubuh Naufal hanya dengan tatapan.

Yang ditanya masih bergeming. Enggan untuk menjawab karena malu dan juga takut. Malu karena ketahuan bahwa ia tidak rela Dudung di rebut Deryon. Dan takut karena saat ini tatapan Dudung sarat akan kemarahan luar biasa.

"Ganti topik. Gue gak bakalan nanya itu kalo lo gak mau jawab. Yang gue mau tanya sekarang, kenapa lo pergi ke kampus tanpa ngebangunin gue? Dan tanpa dianterin gue?" Katanya dengan nada tinggi.

Bohong kalau dari tadi Naufal gak peka kenapa Dudung keliatan marah. Ia sudah terbiasa jadi alarmnya Dudung. Dan Dudung juga siap sedia jadi sopir pribadi Naufal. Hal itu wajib mereka lakukan setiap hari. Bukan hal sepele bagi Dudung ketika ia tidak menemukan Naufal di sampingnya saat membuka mata tadi pagi.

Mau tau? Naufal semalam tidur di kamar Dudung, itulah kenapa ia kecewa saat bangun tidur, Naufal sudah tidak ada bersamanya.

"Yang ini wajib di jawab!"

Naufal agak terlonjak kaget waktu denger suara Dudung yang makin gak santai.

Mungkin ini kali ya definisi dari,

Orang baik itu kalo marah nyeremin.

Ini pertama kalinya Dudung semarah ini, sangat menakutkan bagi Naufal.

"I-itu g-gue ca-cari wifi buat n-nugas... jadi... gu-gue g-g-gak sempet bang-un-in e-lo... " Naufal pun auto gagap ngejawab pertanyaan Dudung.

Di depannya, Dudung tengah memutar bola matanya dengan jengah. Alasan paling bodoh yang pernah Naufal lontarkan kepada orang ber-IQ setinggi Dudung.

"Bohongnya jangan bego-bego amat dong bang! Di apartemen tuh Wifinya unlimited dan dua hari yang lalu baru gue bayar! Lu mau pake nugas sampe sarjana juga gak bakalan habis itu. Lagian gue hapal mati tugas dan jadwal kuliah lo."

Malu? Jangan ditanya. Kalo ada tempat sampah terdekat, Naufal ingin mencelupkan kepalanya kesana saja. Naufal menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Kebingungan mau mencari alasan apalagi yang masuk akal.

Naufal menghela nafas panjang. Lelah berbohong kalau ujung-ujungnya ketebak juga sama Dudung. Berasa bego jadinya.

"Gue belom siap lo hard dadakan pagi ini gara-gara tadi malam gagal itu-an. Dan juga, gue belum siap jadi uke lo! Puas?!" Tutur Naufal dengan segala kejujurannya.

Dudung sama sekali tidak melihat kebohongan dari perkataan Naufal. Bahkan air mukanya pun sudah menandakan bahwa kekasihnya seratus persen jujur. Mendengar kejujuran yang dilontarkan Naufal, wajah tegas Dudung berubah melembut. Lengkungan senyuman di bibirnya pun kini sudah kembali terlihat.

Naufal enggan melirik sedikitpun ke arah kekasihnya dengan memilih sibuk keluar masuk menu di ponsel-nya. Ia terlanjur malu berkata jujur tapi juga sedikit lega sudah mengeluarkan ketakutannya.

"Gue tau, kok," Naufal mendongakkan kepalanya menatap Dudung "Gue udah tau kalo lo belom siap. Makanya gue sengaja langsung tidur semalem."

Dudung tersenyum kelewat tampan dan berhasil bikin Naufal ambyar.

"K-kenapa? Kan gue udah janji, Dung?!" Naufal bertanya dengan histeris.

Selanjutnya tangan besar milik Dudung bergerak untuk mengambil tangan kanan milik Naufal yang lebih kecil darinya. Ia sedikit menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Naufal. Setelahnya Dudung memeberikan sorot yang lebih lembut di matanya. Pantulan wajah Naufal yang begitu indah pun dapat terlihat jelas di sana.

"Lo pacar gue kan bang?" Naufal mengangguk.

"Gini ya bang, yang namanya mau itu-an, kita sama-sama harus mau, sama-sama siap, dan sama-sama gak ada tekanan. Kalo gue-nya doang yang siap, lo-nya belom di apa-apain udah keringet dingin duluan sampe bibirnya berdarah itu namanya gue anggep lo bukan pacar, tapi cuma pemuas nafsu gue."

Mendengar perkataan Dudung barusan, hati Naufal menghangat. Ia benar-benar gak percaya bahwa Dudung bisa bicara se-dewasa ini.

"Sekarang posisi kita pacaran bang. Gue mau ngelakuin sama lo itu karna gue sayang sama lo. Dan kalau lo belum siap, berarti lo belum sayang sama gue. Itulah kenapa gue urung buat ngelakuin itu tadi malam." Senyuman Dudung semakin getir kala mengucapkan kalimatnya.

"Lo? Sayang sama gue?"

"Iya. Gue sayang sama lo. Sayangnya beneran. Nih," Dudung memindahkan tangan Naufal ke arah dadanya "Deg-degan kan? Gue ngeliat lo gini aja rasanya jantung gue mau loncat."

Naufal mengerjapkan matanya tidak percaya.

"Are you sure, Dung? Itu bukan debaran karna lo grogi liat cogan di depan lo ini kan?"

Dudung terkekeh, "Kalo berdebar liat cowok manis di depan gue, sih, iya. Dan gue yakin dong sama perasaan gue. Ini sama banget kaya waktu jatuh cinta sama bang Randika. Tapi bedanya, kok ini lebih bikin bahagia ya? Yah, walaupun gue masih aja sih jatohnya tetep 'cinta bertepuk sebelah tangan' "

Dengan kurang ajarnya kata-kata Dudung itu berhasil bikin pipi Naufal merona hingga ke telinga. Dia benar-benar malu.

Hening beberapa saat, hingga yang lebih tua berteriak cukup keras,

"Sialan dung!"

"Kenapa bang?"

Naufal sekarang yang gantian narik tangan Dudung untuk di tempelin di dadanya.

"Me too!" Pekik Naufal dengan nada panik.

"What are you too?"

"DUNG!" Naufal menatap Dudung horor. Ia pun mendekatkan dirinya ke telinga Dudung.

Lalu dengan nada sensual Naufal berbisik,

"Sepertinya gue juga sayang sama onta inggris gue, nih~"

Dan terima kasih untuk Naufal yang juga kurang ajar membuat Dudung hampir mimisan menahan malu.

The End

***
Berakhir se-simple itu?

Ya... akhirnya memang se-simple ini.

Kuy, Move On! ✔Where stories live. Discover now