Annisa tersenyum, "Nisa siap, Mas. Bukankah lebih baik jika seorang istri itu ikut suaminya?"

"Tapi ... Mas nggak tega ninggalin Abah di sini sendirian."

"Mas ...." Annisa duduk di samping Adam, "Rumah ibu kan dekat dengan rumah Abah. Lagi pula Abah pernah berpesan sama Nisa...."

"Berpesan apa, Nis?" tanya Adam penasaran. Namun, hanya dibalas senyuman oleh Nisa.

"Berpesan apa, ya?" goda Nisa sambil menahan tawanya.

"Nis, Mas serius nih."

"Iya deh ... iya. lagian Mas ini kalau ada pesan dari Abah kok langsung mukanya berubah jadi serius gitu."

"Nis...." tangan Adam sudah mulai bersiap menggelitik. Nisa paling tidak suka jika digelitik.

"Oke ...oke," sergah Nisa, "Abah pesan ... jika Nisa sudah menikah, Nisa harus siap ikut kemanapun suami Nisa tinggal." Senyum manis mengembang dari bibir Nisa, "kata Abah, suami istri itu tidak baik berpisah, baiknya tinggal bersama apa pun kondisinya, karena ujian bisa datang kapan saja, dan itu akan lebih nikmat jika dihadapi bersama-sama."

"Kamu benar-benar sudah siap ikut Mas ke rumah Ibu?"

"Mas ... Nisa tahu perasaan Mas Adam. Rumah itu peninggalan terakhir Ibu, dan Mas tidak ingin menghapus kenangan bersama Ibu begitu saja. Ya, kan?"

"Makasih ya, Nis. Sudah mengerti kondisi, Mas. Mas bersyukur memiliki istri seperti kamu." Adam menarik Nisa ke pelukannya, dan mengusap kepalanya dengan lembut.

Azan subuh berkumandang, mereka berdua bersiap untuk salat subuh berjamaah di masjid.

Abah duduk di depan televisi terlihat berzikir sembari menunggu Adam dan Annisa keluar kamar.

"Abah...."

"Ayo kita berangkat subuh bersama-sama. Hari ini mubalighnya Ustadz Syamsudin Nur," kata Abah yang sudah mengenakan peci dan memegang sajadah lalu beranjak dari duduknya. Abah beserta Adam dan Annisa berjalan beriringan.

"Abah menjadwalkan beliau untuk ceramah subuh hari ini?" tanya Nisa antusias sembari mengunci pintu rumahnya, "Kok bisa, sih? Padahal beliau sibuk sekali lho."

"Kamu ini, Nis. Masjid Mubalighnya itu-itu saja, kamu protes. Abah mengundang beliau kamu tidak percaya."

"Bukan gitu, Mas. Nisa nggak nyangka aja, Ustadz Syam mau ceramah di sini. Waktu Subuh lagi."

"Allah itu menguji sebuah pernikahan dengan tiga hal, yang pertama, bagi mereka yang sudah menikah tapi belum mendapatkan pekerjaan. Sabar ... dalam Az zumar ayat 10, dijelaskan, Innamaa yuwaffasshoobiruuna aj'rohum bighoiri khisaab. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan rezekinya tanpa batas. Jadi, untuk yang baru menikah, atau yang sudah menikah lama. Sabar, itu kuncinya."

Ceramah Ustadz Syam membuat Adam tersadar bahwa saat ini dia belum memiliki pekerjaan. Dia mulai terbersit sebuah rencana membuka sebuah usaha, yaitu berdagang. Bukankah sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada di berdagang?

Adam tak mau rezeki yang kelak ia gunakan untuk menafkahi istrinya adalah rezeki yang haram. Sudah cukup dia melakukan kesalahan di masa lalu. Kini, Adam benar-benar ingin berubah, berhijrah ke jalan Allah dari segala aspek.

"Ujian pernikahan yang kedua justru datang dari orang yang paling kita sayang. Yaitu istri...." lanjut Ustadz Syam Lho kok bisa istri? Ada yang tahu?" tanya ustadz Syam ke seluruh jamaah yang hadir pada pagi hari itu. Namun, semua bergeming, tidak ada yang bisa menjawab, beberapa diantaranya berbisik satu sama lain. Ingin menjawab tapi akut salah. Subuh ini lebih ramai dari biasanya.

ADAM DAN MADAWhere stories live. Discover now