Interogasi Singkong Rebus

119 3 0
                                    

"Ma, aku ke rumah Pak Jati dulu ya, mau benerin parabola!"

Hikmah yang sedang menyeterika mengangkat kepalanya, "Jangan lama-lama, ya. Langsung pulang."

"Pasti lah.." sahut Iis.

"IKUT!" teriak Yunita.

"Ya tidak bisa, Nita. Bapak nanti di sana naik ke atas genteng, tidak bisa mengawasi kamu. Bapak cuma sebentar kok!"

"Pokoknya IKUT!" Yunita menarik-narik ujung baju Iis. Hikmah puh keluar dan menggendong Yunita yang merajuk, supaya Iis bisa berangkat.

Iis berangkat ke rumah Pak Jati yang memintanya datang sejak seminggu yang lalu lewat SMS ketika Iis masih di Purwokerto. Saluran televisi yang biasanya ditonton tiba-tiba hilang. Sebentar lagi bulan Ramadhan, Pak Jati sekeluarga biasa mengamati waktu buka puasa yang berubah-ubah lewat televisi.

Iis memang tidak pernah belajar formal untuk membetulkan parabola, modalnya hanya mantengin tukang parabola yang sering mampir ke desanya. Orang di desa banyak yang memakai parabola untuk mendapat siaran televisi nasional. Wilayah pegunungan serta banyaknya pohon-pohon yang tinggi-tinggi mengakibatkan siaran televisi sering terganggu.

Awalnya Siswandi, ayah Iis, memasang parabola, dan Iis pun membuntuti sang teknisi naik ke genteng, memperhatikan dengan teliti dari awal saat memasang sampai setting program pada mesin parabola. Setelah menikah dan punya rumah sendiri, Iis ikut meminta teknisi yang sama untuk memasang di rumahnya juga. Mereka pun jadi akrab, dan sang teknisi dengan senang hati membagi ilmunya. Satu persatu para tetangga akhirnya mengetahui kalau Iis bisa setting mesin parabola ketika ada pergantian frekuensi dari pusat.

"Eh! Is! Sudah ditunggu-tunggu! Saya pikir masih siangan lagi datangnya! Ayo masuk!" Pak Jati keluar dari pintu rumahnya dengan wajah sumringah. Setiap kali bertemu rambutnya makin tipis saja.

Iis mengucapkan salam pada Pak Jati. Bersamaan dengan itu dua anak laki-laki balita berlari melewati mereka keluar rumah sambil berteriak dan saling mengacungkan pedang-pedangan plastik.

Pak Jati menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepalanya, "Biasalah, Is, nek ora ana Tivi, dolanane sing ora lumrah *19). Sudah seminggu ini mereka tidak bisa diam. Istriku jadi sakit kepala dibuatnya," matanya mengikuti kedua cucunya yang masih sibuk dalam peperangan antar galaksi.

Iis mesem-mesem saja, ia mengerti. Sama seperti Yunita, cucu-cucu Pak Jati ini masih pada usia yang haus hiburan. Kalau televisi tidak bisa menghibur ya, mereka mencari-cari hiburan sendiri. Masih untung kedua cucu Pak Jati ini usianya berdekatan, sehingga mereka bisa main bersama. Lah, kalau Yunita? Ya dirinya yang harus jadi sumber hiburan. Ditempeli stiker, disisir walau rambutnya sudah rapi, dijadikan kuda-kudaan, teruuusss.. dari sejak kakinya menginjak masuk ke rumah sampai berangkat lagi ke Purwokerto.

Iis memanjat ke atap rumah Pak Jati dengan kotak perlengkapannya. Sambil menaiki tangga, sesekali ia melongok ke bawah, takut cucu-cucu Pak Jati tahu-tahu lari menyambar tangga yang menopang seluruh berat tubuhnya ini. Pak Jati sendiri sudah masuk kembali ke rumahnya menolong istrinya membersihkan kamar mandi.

Iis mendekati parabola dengan hati-hati, ia berjalan sambil berjongkok menyusuri atap rumah yang miring. Untunglah beberapa hari ini cuaca cerah, pijakan kakinya yang telanjang cukup mantap. Paling ngeri kalau sehabis hujan, kadang-kadang gentengnya masih basah dan licin.

Iis memperhatikan parabola itu dari dekat, tangannya menjinjing mesin pendeteksi sinyal parabola yang tersambung dengan aliran listrik melalui kabel dari bawah. Ternyata setelah diperiksa, masalahnya cuma pada sinyal yang lemah. Biasanya ini disebabkan oleh posisi parabola yang tergeser akibat tiupan angin. Setelah diputar sedikit posisinya, perlahan sinyal pun kembali terlihat pada mesin pendeteksi.

Di Pojok Warung Bakmi ~Kisah Founder Fan Page Info Seputar Presiden~Where stories live. Discover now