22

2.9K 270 0
                                    

KELOPAK mata Seli perlahan terbuka. Langit-langit bewarna putih, bau obat yang tajam, serta infus yang dipasang di pergelangan tangannya. Tanpa diberitahu-pun, ia tahu bahwa sekarang ia berada di rumah sakit, khususnya Rumah Sakit Pelita Harapan. Matanya mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Lalu, berhenti di satu sosok yang membuatnya kesal dari hari ke hari.

"Ck.." Seli mengusap wajahnya kesal. "Masih aja ada disini."

Seli mengambil air putih yang ada di nakas sebelahnya kemudian meminumnya. Ia lalu melihat infus yang tengah memasukkan cairan obat ke dalam tubuhnya. Tanpa rasa takut, Seli mencabut kabel infus itu, meninggalkan bunyi tiang infus yang berdenting lumayan keras. Cukup untuk membangunkan Rio.

Rio yang masih setengah sadar, terkejut lantaran melihat Seli yang sudah bersiap-siap untuk pulang. Ia berlari menghampiri Seli dan kembali memegang tangannya. Namun, Seli tidak menolak, melainkan menatap tajam ke Rio yang menandakan ia benar-benar sedang marah sekarang.

Dililiti oleh rasa bersalah, akhirnya Rio memutuskan untuk melepas tangan Seli, sebelum hal itu membuat hubungannya dengan Seli semakin memburuk.

"Udah jam 5.. Aku mau pulang dan jangan ngikutin aku." Ancam Seli serius.

"Udah jam 5.. Banyak kejahatan dan penculikan yang terjadi di atas jam 5. Gue gak mau lo kenapa-napa."

Seli kembali menghembuskan nafasnya dan kembali berbaring di kasur rumah sakit. Satu-satunya cara untuk pulang adalah meminta jemputan kepada ibunya. Namun, jika ia menelpon mamanya sekarang, ia merasa ibunya akan kalang kabut dan menyetir tidak karuan. Tetap saja, ia mengirimkan pesan terhadap seseorang. Sementara itu, Rio perlahan duduk di tepi kasur, menatap Seli yang memejamkan matanya lelah.

"Anemia?" tanya Rio.

"Tertawalah sesukamu," balas Seli sambil menutupi wajahnya dengan selimutnya. "Kamu mau membantuku?"

Pertanyaan itu sukses membuat senyum Rio mengembang sedikit. "Anything."

"Tolong tinggalkan aku."

Sontak senyum Rio menghilang dari wajahnya yang tampan. Ia berdiri dan kembali duduk di sofa tempat ia ketiduran tadi. "Segini cukup?"

Seli tidak menjawab namun hanya mengacungkan jari telunjuknya ke pintu keluar, membuat Rio semakin gemas. Tiba-tiba saja, dari pintu kamar pasien, munculah Jean seraya membawa berbagai macam obat. Ia masuk begitu saja, mengabaikan Rio yang duduk di sofa pojok.

"Duh, Seliii.. Kok bisa kayak gini, sih? Tante kan khawatir.." ucap Jean sambil memberikan beberapa obat kepada Seli.

"Tuh, gara-gara itu.." Seli menunjuk Rio yang terpojok dengan dagunya.

"Haduhh....." Jean menghembuskan nafas dalam. "Untung Tante praktek disini hari ini, udah bilang mama?"

Seli menggelengkan kepalanya dan membuat Jean kembali menghembuskan nafas dalamnya. Seli meminum obat-obat yang telah diberikan oleh tante sekaligus dokter pribadinya. Jean menolehkan kepalanya kepada Rio yang sedang memperhatikan mereka dengan rasa bersalah. Kemudian, ia mengayunkan kakinya menuju laki-laki itu.

"Saya butuh bicara sama kamu."

Rio membuntuti langkah Jean malas, meninggalkan Seli sendirian di kamar pasien itu.

"Nama saya Jean. Saya tante sekaligus dokter psikolog pribadi Seli," ucap Jean sambill mengulurkan tangannya. "Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu."

Rio menyambut uluran tangan Jean dengan sedikit was-was. "Saya Rio. Silahkan tanya apa yang Anda inginkan."

"Apa kamu tahu kalau Seli mengidap suatu phobia?"

"Ya, dan phobia itulah membuatnya menjadi takut kepada saya," jawab Rio sambil mengeraskan rahangnya sedikit. "Saya ingin menyembuhkannya."

"Apa yang kamu lakukan tadi? Sampai-sampai Seli pingsan."

"Saya hanya membawanya berlari dengan menggandeng tangannya. Saya tidak tahu bahwa ia mempunyai anemia sehingga ia mudah lelah."

Jean memijat pelipisnya sejenak. "Apa Seli muntah tadi?" tanya Jean yang dibalas gelengan kepala oleh Rio. Lagi-lagi Jean menghembuskan nafasnya pelan. "Apa kamu benar-benar ingin menyembuhkan Seli?"

Rio memandang mata Jean dengan berani. "Ya, saya ingin sekali. Saya ingin sekali sampai-sampai saya bisa gila jika Seli tidak bisa sembuh dari itu."

Jean terkekeh pelan. "Sebegitunya?"

"Ya," jawab Rio tegas namun tenang. "Emm.. Dokter, bolehkan saya bertanya?" tanya Rio sopan. "Tadi pagi Seli bisa memegang pergelangan tangan saya tanpa marah-marah, tapi mengapa barusan saat saya memegang tangannya ia begitu marah?"

Mata Jean menatap Rio lembut. "Menurut pengamatan saya, gejala Seli akan lebih bereaksi saat ada laki-laki menyentuhnya, karena hal itulah yang.." potong Jean pelan.

"Membuatnya menderita Arrhenphobia. Dia bisa menahan saat ia memegang pergelangan tanganmu, itu karena dia yang melakukan. Gampangnya tubuhnya sudah siap menerima konsekuensin karena dia yang melakukan. Namun, saat disentuh laki-laki dengan tiba-tiba meskipun hanya genggaman tangan, tentu ia belum siap untuk menerima konsekuensinya."

Rio manggut-manggut. Semua itu cukup untuk menjelaskan rasa penasaran Rio. "Saya ingin Seli sembuh."

Sambil tersenyum, Jean memandang Rio penuh harap. "Begini, sebelum kamu mulai belajar untuk menyembuhkannya, tolong kamu bertanya dulu kepada Seli sendiri mengapa ia bisa mengidap phobia itu. Setelah itu, cobalah untuk melakukan kontak fisik secara bertahap. Jangan terlalu cepat namun jangan terlalu lambat pula, baru kali ini saya menemukan seorang laki-laki yang begitu menginginkan Seli sembuh."

"Apa ada hal lain yang ingin Anda sampaikan?" tanya Rio sopan.

"Hmmm," Jean menerawang langit-langit koridor rumah sakit disana. "Cobalah untuk bermain tarik-ulur. Dari pandangan saya, sepertinya kamu cukup baik di bidang hal itu."

Rio tersenyum. "Who knows?"

"Itu saja. Seli juga perempuan. Sudah saatnya ia bisa dan harus merasakan apa yang ia harus rasakan," Jean mengakhiri obrolannya. "Beritau saya kelanjutannya dari ini, Ya, Nak Rio."

Rio mengangguk pasti, membalas senyuman dari Jean. Jean kembali masuk ke dalam untuk berpamitan kepada Seli. Sementara itu, Rio pegi ke mesin minuman untuk melegakan dahaganya sebentar. Kaleng minuman bersoda yang lumayan dingin diletakkan di keningnya, itung-itung untuk membuang rasa panas dan penat yang mengitari kepalanya.

Cukup lama ia duduk sendirian sambil menikmati minumannya. "Bisa gila ya, Rio?" tanyanya pada dirinya sendiri lantaran kalimat yang tadi ia bilang kepada Jean termasuk kalimat yang menggelikan.

"Rio, saya pulang dulu," pamit Jean secara tiba-tiba membuat Rio -yang setengah melamun- tersedak minumannya sendiri. "Terimakasih, ya."

Belum sempat Rio membalas pamitan itu, Jean sudah menghilang dari koridor. Rio melepaskan nafas pelannya. Ia kemudian masuk ke dalam kamar yang pasiennya sedang bersiap-siap untuk pulang. Senyum kecil terlukis di wajahnya.

"Mau pulang? Ini udah jam setengah enam lho," ucap Rio sambil mendekati Seli. "Gue anter ya."

Seli memutar bola matanya kesal. Lalu, ia juga memutar kepalanya, menghadapkan dirinya kepada Rio. "Kalau bukan permintaan Tanteku, aku gak bakal mau pulang sama kamu." Seli mendahului Rio untuk mengambil segelas air kemudian meminumnya.

Senyum Rio mengembang. "Emangnya tantemu bilang apa?" tanya Rio lembut mengganti gue-lo dengan aku-kamu.

"Kalau aku gak pulang sama kamu, aku bakal dilaporin ke mama kalau aku udah pingsan hari ini," balas Seli dengan cemberut. Ia menyiapkan inhaler miliknya untuk dipakai, sebelum sesak nafasnya kembali parah saat di mobil nanti.

"Jadi pulang gak ini? Gausah ketawa kamu!" ucap Seli gemas yang dibalas tawaan yang tertahan dari Rio.

"Jadi, Tuan Putri."

---------------------------------------------------------
P.S :

Terimakasih sudah mampir😊
Nantikan update-annya terus ya♡
Maafkan jika ada kesalahan🙏saya masih baru sih, hehehe
Jangan lupa VOTE, comment, dan follow yah☆

Thankyou
감사합니다

Arrhenphobia [END]Där berättelser lever. Upptäck nu