2. Menembak?

89 10 9
                                    

"Ini kesempatan yang bagus. Kesempatan nggak akan terulang untuk kedua kalinya."

-Shinta Emilisia-


Sambil memasukkan kacang yang telah dibeli oleh temannya Aura dan Devi, Shinta tampak asyik memperhatikan layar ponsel di depannya. "Ganteng juga nih cowok," gumamnya.

Dengan gaya seperti orang yang lagi nongkrong di warung pedagang kaki lima, ia lempar kulit kacang itu sembarang tempat, tak peduli betapa susahnya petugas piket untuk membersihkannya pagi tadi. Baginya, toh nanti bakal kotor dan dibersihkan juga.

Orang-orang yang melihatnya tampak marah namun hanya bisa geleng-geleng kepala menyesalkan apa yang dilakukan Shinta. Namun berbeda hal dengan teman dekatnya tentu saja yaitu, Aura dan Devi. Mereka menganggap itu perbuatan biasa, malah juga mengikuti yang Shinta lakukan karena ketiganya memiliki pemikiran yang sama.

Saat ini Shinta sedang chatingan sama seorang cowok, dan ini baru pertama kali cowok itu menanyakan hal tentang dirinya, sesudah beberapa hari Shinta menyuruh cowok itu untuk menyimpan nomornya.

Sebelumnya Shinta malas untuk meladeni pesan masuk dari cowok, sebab kebanyakan dari mereka bertampang jelek dan tidak mempunyai apa-apa yang bisa dibanggakan. Cuman bermodal paket internet dan percaya diri yang tinggi meskipun sudah tau kemungkinan akan dibalas sangat kecil, tapi apa salahnya mencoba.

Namun berbeda dengan kali. Sejak tahu pesan masuk itu dari Daffa, balasan dari setiap pesan bernada pertanyaan yang masuk dijawab cepat oleh Shinta.

Karena Shinta sudah mencari tahu informasi tentang Daffa sedikit-sedikit dari teman-temannya, sebelum memutuskan untuk menjalin pertemanan di media sosial whatsApp dengan cowok itu.

Daffa: Lo kelas sepuluh berapa? Gue tebak, kelas lo pasti X IPS 4, ya, kan?

Shinta: Hah? Tau dari mana gue kelas X IPS 4? Lo ikutin gue ya, padahal gue inget, gue nggak pernah kasih tau ke elo?

Daffa: Adalah, lo nggak usah tau deh, gue dapet info lo dari mana. Lagipula siapa sih yang nggak akan suka sama lo, cantik begini orangnya.

Shinta: Hehe, iya. Makasih ya. Lo jadi cowok baik banget, gue jadi suka sama lo.

Senyum Shinta merekah mendapatkan pujian dari Daffa. Bukan apa-apa, menurutnya Daffa adalah salah satu cowok yang masuk daftar kriteria cowok yang pantas menjadi pacarnya.

"Asli, gue jadi suka sama tuh cowok, Dev. Lo tau, dia bilang gue cantik?" ucap Shinta kegirangan.

"Cowok emang begitu tingkahnya, bisa aja dia bilang cantik ke semua cewek yang di kenal. Lagian lo kan udah punya pacar, Shin. Ngapain juga cari yang lain lagi?" Devi tidak setuju dengan Shinta, apalagi saat ini Shinta baru tiga hari jadian, setelah putus dengan yang terdahulu.

"Betul tuh, kata Devi. Jangan mau dipermainkan sama cowok yang nggak jelas. Seharusnya kita yang buat dia merasa dipermainin. Biar para cowok tuh tau, gimana rasanya sakit hati," ucap Aura tegas bila sudah menyangkut soal cowok, karena ia pernah dijadikan barang taruhan oleh cowok, lalu satu hari setelahnya diputusin.

"Emang siapa juga yang mau dipermainkan? Nggak ada. Tapi ada satu hal harus kalian tau, nih cowok, yang namanya Daffa, kakak kelas kita yang ganteng itu loh," sergah Shinta cepat menyangkal pandapat kedua teman gilanya.

"Beneran lo? Daffa, orangnya? Eh, dengar-dengar dia itu sikapnya cuek banget, apalagi sama cewek." Aura dan Devi terkejut mendengar nama cowok yang dikatakan Shinta, rasa penasaran akhirnya tumbuh di pikiran mereka.

"Nah, iya, kakak yang dikenal cueknya kebangatan itu, bahkan gue dengar saat dipanggil guru juga sering dia cuekkin."

"Masa iya sih? Dia mau sama elo yang pecicilan begini," ledek Devi. "Mendingan sama gue, meskipun gue pecicilan sama kayak lo tapi gue orangnya setia, nggak tiap minggu gonta-ganti pacar."

Tangan Shinta bergerak meloyor kepala Devi. "Sialan lo! Pokoknya Daffa incaran gue, lo berdua jangan coba-coba ngedekatin!" Ancam Shinta, menatap tajam Devi dan Aura bergantian.

"Iya, iya, gue dan Aura nggak akan ganggu deh, iya kan Ra?"

"Hmm. Gue pasti dukung lo kok Shin, tapi Fino mau lo kemanain?" tanya Aura ragu-ragu dengan ucapannya.

Shinta tersenyum licik, kedua temannya ini seperti baru mengenalnya saja. "Kalian berdua liat aja nanti malam. Oke?"

Tentu saja ucapan Shinta menimbulkan pertanyaan dalam benak Aura dan Devi. Aduh! Jangan-jangan kayak dulu lagi?

"Kalian liat aja, gue bakalan luluhin sikap es batunya itu. HAHAHAHA....." Shinta tertawa keras meluapkan perasaannya

Tanpa mereka sadari, semua mata tertuju ke arah mereka, bahkan guru yang baru masuk wajahnya berubah menjadi marah.

"KAMU! NGAPAIN TERTAWA, NGGAK DENGAR BEL SUDAH BERBUNYI?!" tunjuk Pak Tono guru bahasa kelas 10 ke arah Shinta.

Shinta terkejut, Pak Tono datang disaat yang tidak tepat. Ketika cintanya t'lah dimiliki Daffa.

"Eh, Bapak, nggak pak. Nggak apa-apa, tadi Devi bikin lelucun makanya saya tertawa, hehe." Shinta menyeinger lalu menyenggol Devi dengan sikunya. "Elo sih gara-garanya!" tuduh Shinta menyalahkan Devi.

"Kok gue yang disalahin?" tanya Devi kesal, lagi-lagi dia yang dikorbankan. Kebiasaan.

Pak Tono tampak geram dengan tingkah mereka, selalu buat keributan di kelas. "Sudah! Kalian berhenti bicara, tambah panjang nanti urusan." Kini tatapan matanya berpindah pada Aura.

"Kamu!" tunjuk Pak Tono, "kembali ke bangku kamu."

Segera Aura duduk di bangkunya, di belakang Devi dan Shinta.

"Aduh. Bapak nih ganggu aja, orang lagi senang-senangnya juga," omel Shinta dengan nada pelan agar tidak kedengaran.

Saat teman-teman yang lain mencatat apa yang dituliskan Pak Tono di papan tulis, Shinta kembali asik chattingan sama Daffa.

Beruntung meja mereka berada di tengah-tengah, jadi Pak Tono tidak akan curiga sama yang dilakukannya. Dan kalaupun Pak Toni mendekat, Shinta bisa langsung menyembunyikan Hp dengan menaruh di laci meja.

Obrolan mereka mengalir lancar tanpa ada bebatuan kerikil, sampai tiba-tiba Shinta terpenjat mendapatkan pesan yang masuk. Dari Daffa.

Daffa: Lo udah punya pacar belom?

Kini Shinta senang bukan main, dia yakin, ia pasti bisa membuktikan pada Aura dan Devi bahwa ia sudah membuat Daffa suka segitu mudahnya kepadanya

Ini kesempatan yang bagus. Kesempatan nggak akan terulang untuk kedua kalinya, pikir Shinta senyam-senyum. Oke, terpaksa dia berbohong untuk kesekian kalinya.

Shinta: Belom. Emangnya kenapa nanyain?

Daffa: Nggak. Berarti nggak ada yang punya dong. Kalau gue bilang suka sama lo, lo mau nggak jadi pacar gue?

Ia tak pernah menyangka bahwa Daffa akan menembaknya. Yah... mati dong gue kalau gitu. Eh salah, seneng maksudnya, batinnya.

"ANJERITTT!!!" teriak Shinta. "Ups, keceplosan. Maaf Pak, nggak sengaja." Shinta menutup mulut dengan kedua belah tangannya.

Saat kini semua mata sudah menuju ke arahnya ia hanya bisa pasrah menahan malu dan menunggu keputusan Pak Tono yang akan diberikan karena ulahnya sendiri.

Metamorposa Putih Abu-abuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang