S

114 25 3
                                    

Ruang tamu hening, dan begitupun dengan semua sisi di rumah ini. Tidak ada aktivitas mencolok. Hanya ada Taehyung dengan rambutnya yang makin panjang sedang membuat segelas susu hangat untuk Sean. Kedua tungkainya bergerak pelan ke arah kamar.

Di sana Sean masih terduduk di atas ranjang dengan punggung menyender pada bahu ranjang. Tatapannya masih sama, kosong. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Dia menangis ketika Taehyung tidak ada di sampingnya, terus merutuki dirinya sendiri.

Taehyung merangkak naik ke atas kasur --juga mengeratkan pegangannya pada gelas agar tak tumpah-- lalu menyodorkannya pada Sean.

"Tidak menerima penolakan. Harus di minum." Taehyung bukannya tak mau menenangkan atau menghidupkan kembali, tapi Sean pasti butuh waktu sendiri. Ini lebih dari sekedar kehilangan biasa, ikatan yang Taehyungpun tak tahu seperti apa untuk mendeskripsikannya.

Sean meminum perlahan susunya. Tak ingin merepotkan Taehyung lebih jauh lagi. Selama tiga hari ini, dia selalu membuat Taehyung keluar-masuk dapur untuk membuatkannya makanan dan mengantarnya ke kamar.

Sama sekali tidak ada niat untuk mengerjai suaminya, ia hanya masih belum bisa menerima kenyataannya.

Deringan telepon Taehyung, mengalihkan atensinya dari Sean yang masih berusaha menghabiskan segelas susu dengan tatapan kosong.

"Ibu menelpon, ingin berbicara?" Tanya Taehyung sepelan mungkin. Sean mengangguk lemah lalu menukar gelas di tangannya dengan telefon genggam suaminya.

"Halo, Sayang. Maafkan Ibu baru menghubungimu."

"Tidak apa, Bu."

"Ibu benar-benar minta maaf. Tidak ada yang Ibu bisa lakukan untuk membuatmu lebih baik."

"Tidak, Bu. Ibu hanya perlu mendoakanku saja untuk yang terbaik. Hm?"

"Selalu, tanpa kau minta, Cintaku."

Sean tak menjawab apalagi, pikirannya masih kalut. Mendengar Ibunya yang sangat perhatian dan senantiasa mencurahkan kasih sayang padanya membuatnya kembali meringis perih. Kembali berandai-andai jika saja ia lebih cepat mengetahui semuanya.

"Jangan terlalu larut, Sean. Badai pasti berlalu. Tenggelamnya kita atau tidak, berada dalam keputusan yang kita ambil. Berenang menjauh menyelamatkan diri atau menerima nasib begitu saja."

Tangannya bergetar, air mata mulai menggenangi bola matanya. Berusaha agar Ibunya tidak tahu, bahwa putrinya sedang menahan tangis. "Tentu, Bu. Aku pasti akan berenang menjauh."

"Semua yang terbaik untukmu, purtrikku. Ingat selalu bahwa Ibu dan Ayah mencintaimu."

"Ya, aku juga mencintai kalian."

Lalu percakapan terputus. Sean menaruh asal telefon genggam Taehyung. Wanita itu menyembunyikan wajahnya dalam tekukan kaki selanjutnya menangis lagi. Taehyung benar-benar teriris melihat keadaan istrinya yang seperti ini.

Persetan dengan ucapannya yang bilang akan memberi Sean waktu sendiri, ia tak tahan lagi. Jadilah Taehyung memeluk Sean seerat mungkin, seakan meyakinkan bahwa ia ada. Dan selalu ada untuknya.

"Taehyung.. Maaf.. Maaf sekali." Taehyung merasa air mata Sean mulai membasahi kausnya, tapi ia tidak peduli.

Mengecup puncak kepala Sean berkali-kali. "Jangan biarkan kesedihan menguasaimu. Kau masih punya aku. Kita masih punya masa depan, Sayang."

Kemudian Sean memberi spasi pada jarak mereka untuk bertatap wajah dengan Taehyung. "Kau benar. Tapi rasanya sakit sekali, Tae."

Taehyung menangguk paham. "Mereka bilang, rasa sakit adalah proses menuju kebahagiaan."

Ia kembali memeluk Taehyung lalu menyembunyikan wajahnya pada dada suaminya. "Jangan tinggalkan aku karena wajahku bengkak, ya, Tae. Aku seriusan tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpamu."

Taehyung tertawa kecil. "Maka beritahu aku dulu, apa yang akan kudapatkan jika tidak meninggalkanmu?"

Satu gebukan pelan mendarat pada sisi dada Taehyung, Sean tidak mau menjawab.

"Oh? Sebuah pukulan? Benar-benar tidak adil."

Sean melepas pelukannya kemudian mendelik. "Bagus, Tae, permainkan saja aku terus." Dalam hati, Taehyung bersorak gembira. Seannya telah kembali.

Lantas ia memasang mimik orang kebingungan. "Lho? Memang kita sedang bermain?" Sean tidak menjawab dan hanya mendengus kesal.

"Jika di ingat-ingat, ini pertama kalinya aku melihat wajahmu sebengkak ini. Kupikir kau akan tetap cantik tapi ternya-"

"Ternyata apa?" Potong Sean garang.

"Ternyata kau masih sama cantiknya, Sean," Taehyung mengambil kedua bilah telapak tangan Sean lalu menggenggam lembut, "tidak peduli apa, kau akan selalu jadi Seannya Kim Taehyung. Yang akan selalu Kim Taehyung cintai, sampai kapanpun."

Sean tiba-tiba saja menarik tangannya lalu memakainya untuk menutup wajahnya. Dua detik kemudian isak tangis terdengar lagi.

"Hey, Sean. Apa aku salah bicara? Eh, sumpah --aku tidak berbohong kok. Beneran, deh." Racau Taehyung panik.

Sedangkan Sean hanya menatap Taehyung sangsi. "Apa kau sebodoh itu? Tidak bisa membedakan mana air mata sedih, mana air mata bahagia?"

"Eh?"

"Aku ini menangis karena terharu, tahu!"

WHAT IS LOVE ((TAE HYUNG KIM))Where stories live. Discover now