Bab XV

235 48 8
                                    

Acara menegur pengunjung berisik malah berujung mampir ke kamar sebelahnya berkat panggilan Kak Arka. Ya, suara di depan kamar Mawar 1B tadi adalah miliknya. Dia bertanya apa yang gue lakukan di sini, dan gue jawab dengan kebenaran yang ada.

"Jasmin ada di dalam. Kamu boleh liat kalau mau," itu yang dikatakannya ketika gue balas bertanya mengapa dia berada di sini. Sudah terlampau penasaran, akhirnya gue menerima penawarannya setelah izin pada staf legal yang masih betah di kamar Mawar 1C.

Pemandangan di ruang inap itu gak jauh beda dengan kamar opname sejenisnya. Namun, ironi yang terpampang malah membuat suasana kelam di sana memiliki nilai jauh lebih tinggi dari ruang pesakitan pada umumnya. Kak Jasmin tampak kurus dibalut seragam khas pasien. Bahkan, tulang belikatnya terlihat sangat jelas. Tubuhnya ringkih, sarat akan ketidakberdayaan. Walau begitu, ia masih bisa melempar senyum kala manik kami saling bertatapan.

"Sudah susah untuk bicara," jelas ibu mertua Kak Arka yang juga berada di sana ketika gue mendekati kasur tempat putrinya tergeletak. Kak Jasmin mengulurkan tangannya, meminta digenggam yang gue turuti tanpa pikir panjang. Bibirnya bergetar ingin mengatakan sesuatu, namun berhenti saat Raffi menginterupsi dengan logat khas anak-anak dari posisinya di dekat kaki Kak Jasmin. "Mama gak boleh banyak gelak, nanti Mama capek."

"Mama cuma pengen ngobrol bareng Tante, kok" jelas gue. "Tapi bibil Mama gelak-gelak tadi. Nanti Om doktel nyuntik Mama kalo kecapekan," gue ingin menyanggah kembali, namun kalah cepat dengan anak kecil itu yang melanjutkan ucapannya. "Mama pengen apa? Bisikin ke Lapi aja," senyum sedih gue mengembang tanpa bisa dicegah. Raffi mengerti keadaan ibunya. Anak pintar.

Durasi menyapa Kak Jasmin terbilang singkat. Ia menggenggam tangan gue terus-menerus sambil sesekali meremasnya. Walau tersenyum, gue tahu keinginannya untuk membuka suara masih ada. Entah apa yang ingin ia katakan, dan itu membuat gue penasaran.

Gue memutuskan untuk pamit setelah Mbak Rahma mengirim pesan online yang menyatakan dirinya telah dijemput suami dan pulang duluan, sementara Mas Vernan masih menunggu gue untuk ke parkiran bersama.

Selangkah keluar dari pintu, Raffi memanggil gue dari dalam gendongan ayahnya. "Ante Pio! Lapi belom salam."

Bukannya menyalami, Raffi malah meminta gue untuk menggendongnya. "Besok Ante kesini lagi?" gue menganggukkan kepala. "Yeay! Lapi punya temen main!" soraknya sambil bertepuk tangan heboh, membuat gue sedikit kehilangan keseimbangan. Untungnya, Kak Arka sigap menahan dan menggiring gue untuk duduk di bangku panjang di sana.

"Tapi, besok Tante ke sini buat kerja di lantai bawah, jadi gak bisa nemenin Raffi main," jelas gue selembut mungkin, walau gak berguna karena bocah laki-laki itu sudah mencebikkan bibirnya dengan mata berkaca-kaca. Sebelum menggegerkan rumah sakit dengan tangisan anaknya, Kak Arka mengambil alih Raffi lalu menenangkannya.

"Kamu kerja di sini? Sejak kapan?"

"Iya. Udah sebulanan lah."

"Kalau sebulanan, seharusnya kita sering ketemu karena Jasmin sudah hampir dua bulan dirawat di sini," hampir dua bulan? Berarti ketika gue wisuda, dia meninggalkan Kak Jasmin dan Raffi di sini? Dengan sedikit amarah gue memberanikan diri menatap tajam matanya."Suami apa yang malah pergi ke wisudaan orang, padahal istrinya lagi sakit," dia cukup kaget dengan nada sarkas yang gue keluarkan, dan bukannya menjawab atau apa, dia malah menghela napas lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Kak Jasmin sakit apa?" tak tahan dengan hening, gue bertanya sambil melirik Raffi yang mulai tertidur. "Endometriosis di rahim."

"Udah lama?"

"Perkiraan dokter sejak Jasmin remaja, tapi baru ketahuan setelah kami menikah," ada jeda sebentar sebelum dia melanjutkan. "Dokter nyaranin agar Jasmin cepat mengandung, itu cara untuk mengistirahatkan rahimnya dari menstruasi. Jasmin masih sehat-sehat saja sampai Raffi lahir. Tapi, dia kembali mengeluh sakit dua bulan kemudian, dan sampai sekarang."

"Jadi, itu alasan kenapa Kakak gak pernah terlibat dalah kegiatan PMI lagi? Karena mengurus Kak Jasmin?" anggukannya membuat gue terenyuh. Sungguh beruntung Kak Jasmin memilikinya.

"Itu salah satunya," huh? Ada alasan lain? Gue hendak bertanya lebih lanjut, namun urung karena kedatangan Mas Vernan.

"Lo udah kelar belom?" pertanyaannya membuat gue segera bangkit.

"Udah kok. Aku pulang dulu, Kak."

Gue berdampingan dengan Mas Vernan meninggalkan koridor kamar Mawar dengan perasaan campur aduk. Sedih, kesal, marah, kasihan, entahlah! Sulit dijelaskan.

Tapi sepertinya, marah lebih banyak mengambil porsi hati gue saat ini.

Kenapa senior gue itu bisa bertindak meminta restu Ayah sementara istrinya membutuhkan dirinya?

Back to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang