Bab VII

280 64 15
                                    

Hari ke tiga perlombaan PMR se-Jakarta, nyatanya malah semakin panas dengan matahari tepat di atas kepala. Perkiraan cuaca yang mengatakan bahwa hari ini akan berawan, membuat jutaan orang mengeluh kecewa.

Usai drama baper dalam tenda semalam, gue dan Juna gantian shift sebagai pendamping. Ya, walau pada akhirnya dia ikut berdiri di samping gue mengawasi jalannya pementasan drama oleh adik-adik.

"Kak, kita ada tamu. Banyak banget!" Bayu menghampiri gue di dapur. Wajahnya sedikit menyiratkan kebingungan. Gue menuju area depan setelah meinstruksikan kepada Bayu dan yang lain untuk tetap pada tugas masing-masing.

Hal lumrah jika banyak orang berkunjung ke camp. Entah itu PMR beserta pelatihnya, atau malah orang-orang penting di PMI yang tak pernah absen di acara-acara kepalangmerahan. Dan tentu saja, panitia pengamat kebersihan tenda.

"Kok baru mampir?" tanya gue antusias begitu melihat Kak Oji dan Kak Dika, bahkan Johan ikut mengekori dari belakang. Mana yang katanya banyak?

Mereka bertiga melatih satu sekolah dengan dua PMR sekaligus, Madya dan Wira.

"Adek-adek gue lagi repot kemaren," balas Johan ketika kita duduk di bawah pohon dekat dapur. Spot ternyaman berkat angin sepoi-sepoi. Tinggal gelar tikar, bisa langsung merasakan surga tengah hari.

"Bagi makan dong, laper..." Kak Oji menuju ke arah dapur, bahkan sebelum gue mengiyakan. "Kelaperan dia. Dari kemaren susah makan," jelas Kak Dika.

Cs kental, ikatan batinnya kuat.

"Kenapa? Panas dalem?" tanya gue.

"Bukan. Lo tau lah gimana adek-adek kita kalo masak," penjelasan gantung Kak Dika bisa gue pahami dengan mudah. Sebelum Johan, gue udah pernah melatih di sana. Dan ketika lomba, terbukti bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang keahlian memasaknya dikategorikan baik.

"Lah, terus? Lo bedua gimana makannya Kak?" tanya gue menjurus ke Kak Dika dan Johan. "Masak sendiri. Tapi, emang si Oji lagi gak enak perutnya, makanya susah makan," bagai seorang istri yang tahu gimana seluk beluk suaminya, Kak Dika menjelaskan sambil mengawasi teman karibnya yang tengah hilir mudik di dapur.

"Ini punya kapan? Gue makan ya?" Kak Oji kembali dengan sepiring nasi beserta lauk yang tadi gue masak. "Punya makan siang tadi. Kenyangin deh, Kak."

Sambil sesekali melahap makanannya, Kak Oji menceritakan kekesalannya dengan pelatih sebelah yang selalu nyinyir dengan adik-adiknya. Tak peduli Johan yang sibuk mencomot kentang sambal dari piringnya, dia terus berceloteh tanpa jeda.

"Oh, iya! Kakak lo katanya mau nyusul ke sini," paham dengan celetukan terakhir Kak Oji, gue langsung merasakan hawa dingin di sekitar telapak tangan.

Sudah satu malam menginap, tapi lupa dengan kenyataan lama yang selalu gue nantikan. Kak Arka juga pasti berada di sini, sedang mendampingi adik-adik PMR-nya. Dua tahun tidak muncul ke permukaan, lalu hadir ketika musyawarah anggota beberapa bulan lalu, pasti membuat kakak alumni satu itu kembali menjadi pamong untuk adik-adiknya.

"Kakak kalian juga itu," sungut gue gak suka. "Iya, kakak kita. Tapi kan kalo buat lo, kakaknya pake tanda kutip," balas Johan.

Pada akhirnya, gue hanya diam. Mereka juga kayaknya paham kalo gue gak terlalu suka jika pembicaraan ini terus berlanjut.

"Gue udah kelar satu piring, Kakak baru dateng," Kak Oji kembali bersuara, membuat gue yang awalnya sibuk memandangi hamparan tenda menoleh ke arahnya.

Tepat di samping Johan, Kak Arka duduk dengan senyuman. Entah kapan dia datang, jika bukan karena suara Kak Oji, gue pasti masih asyik sendiri dengan pemandangan di depan sana.

Back to YouWhere stories live. Discover now