Bab XII

239 52 8
                                    


Bang Dewo

Gue udah mirip Lee Min Ho belom?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Gue udah mirip Lee Min Ho belom?

Gue terkekeh membaca chat dari Bang Dewo. Tadi pagi, gue sempet bad mood dikarenakan kepulangan Desi ke Semarang. Jadwalnya kembali ke kampung halaman mestinya bulan depan, namun siapa sangka dia mendapat panggilan kerja dari salah satu perusahaan di sana. Untunglah cowok Batak itu menyelamatkan gue dari kegalauan. Ah, abang gue satu itu paling bisa emang!

Lo malah mirip Mingyu Seventeen Bang

Gue kembali mengingat, apakah benar Mingyu itu anggota dari boyband Seventeen atau Exo, atau malah BTS? Gue gak terlalu tahu soalnya. Desi yang merupakan seorang penggemar K-Drama pernah memberi tahu secara cuma-cuma tentang beberapa boyband Korea yang menarik perhatiannya.

Handphone gue bergetar lagi. Bang Dewo bertanya siapa Mingyu dan gue jawab dengan mengirimkan screenshoot biodata si artis Korea itu, hasil browsing di internet.

Hari ke delapan bekerja di RS. Sehat Sejahtera membuat gue gak sungkan lagi untuk mencuri-curi waktu sekedar bermain gadget. Pak Rahim gak mempermasalahkan apapun, yang terpenting adalah kesiapan berkas tepat pada waktunya.

"Pacaran mulu," ejek Mas Vernan ketika melewati gue. "Sirik aja yang jomblo," bukan gue yang jawab, melainkan Mbak Rahma yang duduk di antara gue dan si Mas bule.

"Kita gak dibuatin nih?" tanya gue setelah Mas Vernan duduk di kursinya sambil menikmati minumannya. "Buat sendiri sana!" suruhnya sambil mengendus-endus aroma kopi.

"Udah jomblo, sensian lagi!" hardik Mbak Rahma yang tentu saja dengan nada bercanda.

"Gimana dong? Si Fio udah punya pacar, kan niatnya gue mau nembak dia."

Alih-alih terkejut, gue malah tertawa kencang dan ikut menimpali kata-kata Mas Vernan. "Siapa bilang aku udah punya pacar? Masih available kok."

"Jadi, gak papa nih gue jedorin elo?"

"Sini Mas, aku siap dijedor kamu."

Mbak Rahma tertawa sambil menggelengkan kepala, sementara Mas Vernan sudah kembali menyesap kopi buatannya.

Jam empat sore, Pak Rahim izin ke Kantor Dinas Pendapatan sekalian pulang. Kita bertiga yang masih tergolong karyawan biasa hanya bisa menunggu hingga jam kerja berakhir.

"Mau gue tungguin gak?" tanya Mas Vernan ketika gue sibuk membereskan berkas dan beberapa isi tas gue yang keluar dari tempatnya. "Bentar!"

Gue dan Mas Vernan jalan berdampingan menyusuri lorong demi lorong rumah sakit ini. Mbak Rahma? Beliau sudah duluan. Walau kantor kami masih berada di lantai satu, tetap harus menempuh bermeter-meter jarak sebelum mencapai pintu keluar.

Beberapa kali selama bekerja di sini, gue melihat dokter atau perawat ganteng lalu-lalang. Lumayan lah buat cuci mata.

"Biasa aja ngeliatinnya," gue tertawa menanggapi sungutan rekan sedevisi gue ini. "Ganteng, Mas."

"Yang kayak mereka lo bilang ganteng, lah gue apaan dong? Bapaknya ganteng?"

"Pedean ih!"

Sekedar informasi, Mas Vernan adalah tipekal orang yang terkadang narsis. Berbicara dengannya mengingatkan gue kepada Bang Dewo. Mereka punya banyak kesamaan.

Bang Dewo

Gue di halte samping tempat kerja lo.

Panjang umur! Setelah membaca pesan Bang Dewo, gue izin memisahkan diri dengan Mas Vernan di pintu keluar. Dia menuju parkiran, dan gue langsung ke halte di mana Bang Dewo berada.

Bang Dewo menawarkan diri untuk menjemput gue saat kami bertukar pesan lewat chat tadi pagi. Motor matic yang selama beberapa tahun ini menemani gue harus menjalani perawatan di bengkel langganan lantaran mogok ketika gue mengendarainya pulang semalam.

"Capek banget ya?" tanya abang bermarga Harahap ini ketika gue menghampirinya. "Gak juga sih. Kenapa emang?"

Dia menggeleng. "Biasanya kan orang pulang kerja pasti capek."

"Traktir seblak dong, biar ilang capeknya," ucap gue menahan senyum. "Ada ya karyawan minta traktir sama pengangguran," pecah sudah. Gue terbahak sampai diliati beberapa orang, sementara dia menampilkan wajah datar.

Kami membelah padatnya jalan raya seiring dengan sisa-sisa matahari yang hendak tenggelam. Si Batak-Jawa ini lihai dalam urusan salip-menyalip mobil, membuat gue yang duduk di belakangnya ketar-ketir.

Dua lampu merah telah kami lewati, tinggal belok ke kanan lalu berjumpa dengan lampu merah lagi, setelahnya lurus hingga kontrakan gue. Namun, belum sampai di lampu merah ketiga, Bang Dewo malah mengarahkan kemudinya ke arah kiri.

"Kontrakan gue lurus, Bang!" kata gue sedikit berteriak di balik helm. "Nyeblak dulu bentar, gue traktir!" balasnya sama berteriak yang membuat gue bersorak di jok belakang.

Pengangguran satu ini emang paling bisa!



...




Back to YouWhere stories live. Discover now