DUA PULUH

9.2K 1K 112
                                    

Wah... makin sedih aja saya soalnya yang komen masih makin ke sini sedikit. Tapi nggak pa-palah, kan saya udah janji sama teman-teman yang udah mau nyempatin waktunya buat ngasih vote dan komennya untuk nyelesain cerita ini sampai selesai.

Oh iya, kalau nggak keberatan follow akun wattpad saya dong. Kan saya pengen juga kayak penulis senior yang followernya sampai puluhan bahkan ratusan ribu.

500 vote dan 100 komen (nggak boleh komen next atau lanjut).

Itu aja, nggak berat kok kalau diliatnya lumayan banyak yang baca. Selamat membaca dan semoga coretan saya bisa selalu menemani kalian di waktu senggang.

🍃🍃🍃

                                                  

Tari berulang kali menghela napas panjang, untuk kemudian menghembuskannya perlahan sembari memegang dada di mana jantungnya sedang berdegup dengan kencang. Bisa ia pastikan, jika saja ia memiliki masalah dengan jantungnya, sudah pasti sekarang ia tergeletak di lantai dalam kondisi tanpa nyawa.

Tatapan Tari yang nanar bercampur luka juga kecewa terhunus langsung kepada sosok anak bungsunya yang saat ini sedang duduk di atas sofa di depannya dengan kepala menunduk.

Tak pernah terpikirkan olehnya, di saat hubungannya dengan sang suami yang semakin hari semakin memburuk saja, hari ini ia harus kembali merasakan pahitnya dari kasih sayang berlimpah yang ia berikan. Berjuta kali Tari mencoba menyangkal apa saja yang baru dikatakan oleh anak kebanggaannya itu, namun pernyataan yang bagaikan petir di siang bolong itu tetap tak mau menyingkir dari kepalanya.

"Ma... Bian minta maaf." ucap sang anak lirih, masih tak berani mengangkat kepala untuk menatap wajah kecewa ibunya.

Tak sanggup lagi untuk berdiri, Tari akhirnya menghempaskan tubuhnya di atas sofa di belakangnya. Tangannya kini tak lagi hanya menekan tapi juga menepuk dadanya keras-keras untuk mengurangi rasa sakit di dalam sana. "Maaf setelah keadaannya nggak terkendali seperti ini, Bi?" tanyanya dengan suara tercekat.

Hening yang menyesakkan membuat Tari mendongakan kepalanya ke atas, menatap langit-langit di kamarnya dengan tatapan nyalang.

Tadinya Tari sempat berpikir, saat anak bungsunya itu menelpon dan mengatakan ingin bertemu untuk membicarakan hal yang penting dengannya, maka hanya akan ada kabar baik yang ia terima. Namun siapa yang menyangka, justru kabar teramat buruklah yang ia dapatkan.

"Siapa ayahnya?" tanya Tari akhirnya dengan nada putus asa.

                                                        
Bianca yang sedari tadi menunduk kemudian memilih sudah waktunya mengangkat kepala. Ia yakin, semarah-marahnya sang ibu, pasti rasa sayangnya jauh lebih besar. Untuk itu setelah mendekam selama beberapa hari di kediaman temannya, hari ini Bianca datang menemui ibunya dan berharap mendapatkan solusi dari wanita yang paling menyayanginya itu. Sesaat kemudian ia akhirnya jujur dengan mengatakan, "Nggak tau."

Mendengar jawaban tanpa beban sang anak, Tari kembali merasakan hujaman yang terasa jauh lebih menyakitkan di dalam dadanya. Sambil terkekeh penuh ironi ia kembali menatap wajah anaknya yang masih terlihat cantik biarpun sedang dalam kondisi terburuk. "Kamu yang tidur dengan mereka, seharusnya kamu bisa memperhitungkan siapa laki-laki yang sudah menanam benih dalam rahimmu, Bi." ucap Tari putus asa. "Kamu harus bisa mengingat siapa laki-laki itu untuk meminta pertanggung jawaban karena nggak lama lagi status kamu akan berubah."

Mencari Arti Bahagia [TTS #4 |SELESAI | Sudah Terbit]Where stories live. Discover now