22

49.7K 4.7K 385
                                    

Aku menelan ludah, mengkerut menempel di pintu ruang tamu ketika berbalik setelah menutup pintu dan mendapati mata tajam dan rahang mengeras milik Mas Dewa.

"Darimana? Dengan siapa kamu pergi? Kenapa jam segini baru pulang? Kenapa tidak mengangkat  teleponku? Kenapa tidak membalas pesanku? Apa kamu tau bagaimana khawatirnya aku?" rentetan pertanyaan memberondongku tanpa ampun.

"Paling juga main-main dulu. Dia kan masih kecil, Mas."

Suara itu membungkam kembali mulutku yang terbuka hendak menjawab. Aku mengetatkan katupan bibirku dan mengepalkan tanganku kuat-kuat di sisi tubuhku, menahan diri agar tidak membentak dan menerjang perempuan itu.

"Jawab, Kiara!" suara dingin Mas Dewa membuat sayatan panjang di hatiku. Bayangkan saja, Mas Dewa mencecarku di depan Rima!

"Maaf, aku harus ke kamar," ucapku cepat, berlari ke kamar tanpa peduli kedua bahuku menabrak sisi bahu kedua orang yang berdiri berdampingan di ruang tamu itu.

"ARA!" kuabaikan teriakan Mas Dewa, membuka pintu kamar dengan terburu-buru dan menjatuhkan diri di atas tempat tidur dan menangis sepuasku.

Aku kesal! Apa hak Mas Dewa memarahiku di depan Rima? Aku memang salah karena mengabaikan panggilan dan pesan Mas Dewa, tapi itu kan karena Mas Dewa juga!

Pintu terbuka dengan kasar, aku yakin itu Mas Dewa. Tapi aku tidak peduli, tetap pada posisiku masih tertelungkup, sibuk dengan isak tangisku.

Tempat tidur sebelahku melesak.

"Ara, Mas tidak bermaksud membentakmu. Mas khawatir. Papa baru memberitahu Mas kalau kamu ke kantor waktu Mas keluar makan siang dengan Rima. Kenapa kamu tidak tungguin Mas datang?" ia mengelus rambutku. Aku beringsut menjauh.

"Ara," Mas Dewa menggeser duduknya, menjangkauku yang makin menjauh.

Aku beranjak meninggalkannya dan masuk ke kamar mandi, mengunci diri di dalamnya. Kusandarkan kepalaku di dinding kamar mandi yang dingin.
Ini salah! Seharusnya aku tidak peduli dengan apa yang dilakukan Mas Dewa dan Rima. Tapi hatiku sakit ketika Mas Dewa membentakku di hadapan Rima. Aku sangat tau sorot merendahkan yang tersirat dari pandangan Rima terhadapku,

"Ara," suara Mas Dewa mengiringi ketukan di pintu,

Kubuka kran shower sederas mungkin, sementara aku duduk di closet dengan gelisah.
Perlahan aku berdiri, mengguyur seluruh tubuhku di bawah air yang memancar deras. Aku tidak peduli dengan pakaian yang masih melekat. Aku hanya ingin mendinginkan kepalaku yang sepertinya sudah mulai korslet.

.

.

.

💟💟💑💟💟

.

.

.

Galaksi memandangku penuh selidik. Alisnya bertaut dan dahinya berkerut.

"Cerita sekarang!" perintahnya galak.

"Apa sih?" sewotku menghindar.

"Tidak usah ditutup-tutupi! Aku tau kau sedang punya masalah, Ki," dengusnya menatapku tajam.

"Apa sekarang kau beralih profesi jadi paranormal? Dukun?" cibirku mengibaskan tangan di depan wajahku.

"Tidak perlu jadi dukun buat tau kalau kau sedang dalam masalah. Aku bukan Amora atau Alvin yang bisa ditipu begitu saja oleh senyum palsumu yang sok ceria. Tuh, di dahimu saja tercetak pemberitahuan sebesar baliho kalau kau sedang galau!" rungut Galaksi mengomel karena aku mengelak.

MY POSSESSIVE LECTURER  (Sudah terbit Di GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang