Kyuu

19 4 2
                                    

Byur!

Shira benar-benar melompat.

"Hei, apa kau sudah putus asa? Kau berniat bunuh diri? Hoshigawa!" panggilku dari atas jembatan. Shira tidak juga muncul ke permukaan sungai. Aku sangat ketakutan. Apakah ia benar-benar ingin mengakhiri hidupnya? Lalu, kenapa ia membicarakan kebebasan tadi?

Beberapa detik kemudian, Shira menyembulkan kepalanya. Ia tertawa sambil melambaikan tangannya ke arahku.

"Akiyama, ayo terjunlah! Ini asyik!" serunya kepadaku.

"Kau bisa masuk angin, Hoshigawa! Naiklah cepat!"

"Apa yang kau bicarakan? Akiyama, nikmatilah masa mudamu selagi bisa! Ayo terjun!"

Aku sangat bingung harus melakukan apa. Shira terus melambaikan tangannya ke arahku. Aku meletakkan tasku di tepi jembatan.

"Anak ini benar-benar..." Aku berjalan menjauh beberapa langkah. Kemudian aku berlari ke bibir jembatan dan melompat ke sungai. "... Membuatku tidak habis pikir!!!"

Byur!

Dinginnya air sungai yang baru pertama kali kurasakan langsung menyeruak ke tulang-tulangku. Airnya sangat dingin, sampai-sampai mampu membuatku menggigil. Tapi anehnya, aku tidak menggigil. Aku justru... tertawa.

Aku menyembulkan kepalaku dan melihat Shira.

Shira tersenyum. "Akiyama," gumamnya. Tiba-tiba ia menyipratkan air ke wajahku. "RASAKAN!!!"

"Dasar curang! Rasakan pembalasanku!" aku balik menyipratkan air ke wajahnya.

Shira tertawa sambil terus menyipratkan air ke wajahku. Aku terus membalasnya. Rasanya sangat menyenangkan, hingga aku lupa kalau air sungai yang begitu dingin ini sama sekali tidak cocok dengan tubuhku.

Beberapa saat kemudian, kami akhirnya menepi.

"Mengasyikkan, bukan?" tanyanya.

"Ya. Terima kasih, Hoshigawa."

"Itulah api masa muda, Akiyama!" ujar Shira sambil mengepalkan tangannya. "Keluarlah dari dinding yang mengepungmu. Nikmatilah dunia luar!" Shira tersenyum. Senyum yang sangat kukagumi. "Terima kasih," gumamnya pelan.
"Apa?"

Shira menggeleng. Ia lalu tertawa sambil melihat sisa-sisa sinar matahari yang akan segera lenyap, tertelan pekatnya gelap malam.

"Hei, bajumu basah! Apa kau tidak apa-apa jika datang ke tempat kerja dalam keadaan seperti itu?" tanyaku.

"Ah, benar juga!" Shira menyadarinya dan melihat ke sekujur tubuhnya yang basah kuyup.

"Mau mampir ke tempatku? Aku bisa meminjamkanmu pakaian kering," aku menawari.

"Ide bagus. Baiklah, ayo ke rumahmu."

Setelah mengambil tas kami, kami langsung menuju ke rumahku. Untunglah rumahku tidak begitu jauh dari sini. Beberapa orang di sepanjang jalan memperhatikan pakaian kami yang basah kuyup. Aku menjadi malu karena menjadi sorotan publik.

Shira menoleh ke arahku, kemudian tertawa kecil. Aku tertegun melihatnya. Hoshigawa Shira. Kupikir ia adalah orang yang paling bahagia di dunia ini. Shira selalu tertawa. Ia tidak pernah menangis ataupun bersedih. Ia orang yang paling bebas melakukan apa yang ia mau.

"Akiyama!" panggilnya. "Yang tadi asyik, kan?" tanyanya sambil tersenyum.

Aku tertawa. "Ya," balasku disertai satu kali anggukan kepala.

Shira ikut tertawa. Tawa Shira, senyum Shira, wajah Shira yang manis ketika ia bahagia, aku tidak akan melupakannya.

Akhirnya kami sampai di rumahku. Aku membuka pintu rumahku, kemudian mempersilakan Shira masuk.

"Permisi," ujar Shira sambil melepas sepatunya di genkan. "Oh, Akiyama. Sepatuku basah!"

"Salah sendiri langsung loncat begitu saja," balasku.

"Aku pinjam ini!" ujarnya sambil menunjuk sebuah sepatu wanita yang ada di getabako. Ia memperhatikan sekilas sepatu itu, kemudian kembali menatapku. "Ini, sepatu milik siapa?"

"Ibuku," jawabku.

Shira mengangguk-angguk kemudian mengikutiku masuk ke dalam rumah.

"Maaf jika berantakan," ujarku sambil menyalakan lampu ruang tamu. "Pakailah handukku. Akan kuambilkan pakaian kering." Aku melemparkan handuk ke arahnya kemudian masuk ke kamar ibuku dan menyalakan lampunya.

Shira meletakkan tasnya dan masuk ke bagian dalam rumahku. "Akiyama."

Aku keluar dari kamar ibuku sambil membawa sebuah pakaian milik ibuku. “Ibuku badannya kecil, jadi kupikir pakaiannya akan cukup jika kau pakai.”

Shira mengambil pakaian itu. “Akiyama.”

“Hm?”

Ia menoleh ke altar yang terdapat foto seorang wanita di sana.  Ia kembali menoleh ke arahku. “Itu… ibumu?”

Aku menunduk, kemudian mengangguk.

“Akiyama,” ujarnya sambil menyentuh pundakku. “Maaf.” Shira mendatangi altar tersebut, kemudian berdoa.

Aku memperhatikannya.

Tak lama kemudian, Shira selesai dan menoleh ke arahku. “Aku akan ganti pakaian dulu!” ujarnya.

“Baik.”

Shira berjalan ke kamar mandi rumahku, kemudian menghilang di balik pintunya.

“Mungkin ia lapar. Coba lihat ada apa di dalam sini,” gumamku sambil membuka kulkas. Setelah memeriksa bahan makanan yang ada, aku memutuskan untuk membuat omurice.

Beberapa saat setelah aku mulai memasak, Shira sudah selesai mengganti pakaiannya. Aku menoleh ke arahnya.

“Wah, ternyata benar-benar pas,” komentarku.

Shira berjalan ke arahku sambil tersenyum. “Kau memasak, ya?” Ia mengamati teflon yang berlapis telur. “Omurice ya… Aku sangat suka.”

“Benarkah?” tanyaku.

Shira mengangguk. “Baiklah, karena di sini yang wanita adalah aku, kau cepat tinggalkan tempat ini. Biar aku yang memasak.” Ia mengambil alih dapur seketika.

Aku tersenyum kemudian duduk di kursi dapur. Aku memperhatikan gadis itu memasak. Rasanya, Shira sangat mirip dengan ibu. Bagaikan melihat bayangan ibuku pada dirinya. Aku merindukan ibuku.

“Hoshigawa, kau akan pergi kerja jam berapa?” tanyaku.

“Oh benar juga!” Ia kemudian menoleh ke jam dinding yang tergantung di dinding dapur. “Setengah jam lagi aku harus berada di sana!” Shira dengan cepat langsung menyelesaikan masakannya.

“Selamat makan!” ujarku.

“Selamat makan,” balas Shira.

Aku lalu memakan omurice buatan Shira. Rasanya tidak begitu enak, tapi juga tidak buruk.

“Tidak enak, ya?” tanyanya. Jangan-jangan ia memang bisa membaca pikiranku! Shira tertawa. “Miris sekali, seorang wanita tidak bisa memasak.”

“Tidak,” balasku. “Tidak  begitu buruk bagi seorang pemula yang mau berusaha.”

Shira tersenyum. “Terima kasih.”

Setelah omuricenya habis, Shira langsung pamit untuk bekerja.  Aku menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi ia menolak.

Sepeninggal Shira, tempat ini kembali sepi. Aku mencuci piring kemudian masuk ke kamar untuk belajar. Oh tidak, kurasa aku sakit. Pasti gara-gara air sungai yang dingin tadi. Kurasa, aku tidak cocok dengan yang seperti itu. Oleh karena itu aku langsung sakit.

Esoknya aku tidak masuk sekolah.

***

Maaf banget author kelupaan buat ngepublish chapter ini gara2 sibuk banget ngurusin diklat🙏  DAN NGGAK PERNAH LUPA AKU MAU UCAPIN MAKASIH BUANGET BUAT KALEAN YG UDA NGIKUTIN HITORI ASTAGA TERHARUU😭❤ sama jangan lupa buat komen dan vote yaa sayang2kuu😚

ひとり『Hitori』Where stories live. Discover now