Kau Beda

83 13 0
                                    

Tantangan day 6: Interoffice Romance

Apa jadinya kalau di kantor ada karyawan baru yang ganteng, muda, dan single? Tentunya bisa ganggu konsentrasi kerja para karyawati jomblo

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Apa jadinya kalau di kantor ada karyawan baru yang ganteng, muda, dan single? Tentunya bisa ganggu konsentrasi kerja para karyawati jomblo. Namun, di sisi lain juga bisa menaikkan frekuensi kehadiran karyawati.  Mereka pun rela ke kantor seminggu penuh demi pemandangan indah yang memanjakan mata. Dan pastinya setiap para karyawati yang jomblo berebut untuk menaklukkannya.

Begitu masuk setelah cuti selama lima hari, aku dikejutkan oleh penampilan teman-teman wanita yang mendadak berubah bak model rumah mode. Mereka mengenakan baju beraneka warna dengan model terkini dan riasan wajah full make up.

Segera kudatangi meja kerja Rena yang berjarak tiga blok dari divisiku. Aku perlu tahu apa yang terjadi di kantor ini? Biasanya teman-temanku tidak berlebihan begitu.

Namun, begitu sampai di tempat Rena ternyata ia pun tak ada bedanya dengan yang lain.

"Ren, kamu sehat?" tanyaku dengan nada sinis. "Kenapa sih sama orang-orang di kantor ini?"

"Pelangi, lo udah masuk," balasnya sambil memperlihatkan senyum manisnya. "Kenapa? Emangnya apa yang salah?" Sahabatku itu malah balik bertanya.

"Nggak salah, sih. Tapi, kenapa mendadak semua cewek-cewek di sini jadi lebay?"

Rena malah tertawa mendengar pertanyaanku.

"Itu gara-gara anak desain yang baru. Ganteng banget. Lo juga kalau lihat pasti terpesona deh. Ntar gue kenalin," jawabnya sembari senyum-senyum menerawang.

"Astaga, ternyata keanehan kalian cuma gara-gara cowok!" seruku tertahan. Tidak enak kalau sampai didengar teman-teman yang lain.

"Eh, ntar kualat lo. Begitu lihat dia, justru lo yang kepincut," sumpahnya.

Tak kuhiraukan omongan Rena yang terakhir. Aku melangkah kembali ke mejaku. Sudah waktunya mulai bekerja. Lagi pula banyak pekerjaan yang harus kutangani setelah cuti lama.
***
Jam di dinding telah menunjukkan pukul 05.00 sore. Teman-teman mulai merapikan barang-barangnya dan mematikan komputer, kemudian meninggalkan kantor. Sementara aku masih terjebak di meja kerja.

Aku memeriksa surat-surat penawaran yang masuk dari beberapa calon supplier. Sebagai divisi purchasing, tentu saja ketelitian membaca penawaran supplier harus kumiliki. Karena hal itu berkaitan erat dengan kebutuhan dan anggaran belanja perusahaan.

"Permisi. Mbak Pelangi, ya?" Suara bariton seorang pria membuatku mendongak.

"Ya, Tuhan, kenapa ada aktor menemuiku?!" Aku membatin.

Pria itu tinggi, berkulit cokelat, tubuhnya kukuh hasil latihan rutin di gym. Wajahnya? Sangat tampan. Al Ghazali saja kalah.

Mungkin jika saat itu -maaf- air liurku menetes pun aku tak sadar. Ia seakan menyihirku dengan pesonanya.

"Mbak!" panggilnya lagi sambil mengetuk mejaku.

Aku mengerjap. Buru-buru menunduk, berpura-pura sibuk dengan berbagai berkas di depanku.

"Ya, ada yang bisa kubantu?" tanyaku gugup. Aku segera tersenyum tipis untuk mengatasi kecanggungan.

"Aku mau menyerahkan ini, Mbak. Surat permintaan kebutuhan cetak banner," jawabnya sembari menyerahkan surat yang sudah ditandatangani oleh atasannya.

"Tunggu! Apa kamu karyawan baru? Aku belum pernah lihat sebelumnya," ucapku penuh ingin tahu. Padahal dalam hati aku terus menduga-duga, apa ini anak desain yang digilai oleh cewek-cewek di kantor.

"Iya, Mbak. Aku Revan, divisi desain." Ia mengulurkan tangannya yang langsung kusambut.

"Pelangi," kataku singkat. "Oke, Revan. Nanti permintaannya kuproses."
***
Waktu berlalu. Teman-teman wanitaku mulai berpenampilan seperti biasa lagi, setelah tak ada respons berarti dari Revan. Pria itu memang ramah pada siapa saja. Wajar jika awalnya banyak wanita terjebak rasa dengan keramahannya.

Aku sendiri tak pernah mengikuti tren yang terjadi di sekitarku. Aku lebih senang menyendiri dan bergaul seperlunya.

Anehnya belakangan ini ketika sedang menunggu angkot di depan kantor, aku sering sekali bertemu Revan. Dia bahkan menawariku tumpangan. Meskipun awalnya aku menolak, tapi akhirnya ia berhasil membuatku menerima tawarannya. Revan mengantarku sampai ke tempat indekos.

Esoknya, pria itu tiba-tiba telah muncul di depan pagar rumah indekosku. Awalnya tentu saja aku terkejut. Namun, semakin lama aku justru semakin sering mengharapkannya menjemputku. Tak kupungkiri, aku semakin tergantung padanya.

Kedekatan kami tak ayal menjadi gosip hangat di kantor. Satu dua orang mulai bertanya tentang hubungan kami. Tentu saja tak ada yang percaya ketika kukatakan kami tidak ada hubungan apapun.

Tak terkecuali Rena. Ia bahkan mendesakku untuk bertanya lebih dulu pada Revan.

"Ren, kamu tahu Revan itu baik sama siapa aja. Kami hanya berteman. Kebetulan rumahnya searah dengan rumah indekosku," jelasku.

"Beda, Pelangi. Sebaik-baiknya Revan, dia nggak pernah mengantar jemput teman-teman di sini selain lo. Lihat aja matanya waktu ngeliat lo, ada sesuatu yang beda," katanya mencoba meyakinkanku.

Aku menghela napas panjang, berusaha menghilangkan gemuruh di dadaku. Jujur, perasaanku kepada pria itu semakin berkembang. Rasa kagum terhadap ketampanannya semakin hilang berganti dengan kekaguman pada perilaku dan kebaikan hatinya. Semakin mengenalnya semakin aku ingin menyelami kehidupannya.

Namun, aku tak yakin dia memiliki perasaan yang sama denganku.

"Aku takut, Ren. Aku takut dia berubah dan kami jadi canggung," ujarku beralasan.

"Jadi lo mau terus-menerus HTS -- hubungan tanpa status?"

Aku menggeleng. Jujur aku bingung.
***
Setelah mengumpulkan segenap keberanian dan membuang rasa malu, aku akhirnya menuruti saran Rena.

"Aku sama sekali nggak niat buat mainin perasaanmu, Pelangi. Aku tulus sayang sama kamu," jawab Revan.

Aku terperangah. Benar-benar seperti kejatuhan durian runtuh. Bunga-bunga di hatiku bermekaran. Ingin rasanya kupeluk pria di hadapanku ini, tetapi logika masih menjaga kewarasanku.

"Mengapa aku di antara sekian banyak cewek yang mengejar-ngejarmu, Re? Aku kan biasa aja, nggak ada yang istimewa dariku," tanyaku ingin tahu.

Hening sesaat. Hanya suara sudip dan penggorengan yang beradu dari tukang nasi goreng di depan kami yang terdengar.

"Karena kamu berbeda, Pelangi. Kamu nggak kaya cewek-cewek lain yang mencari-cari perhatianku. Kamu bersikap apa adanya," terang Revan. Matanya teduh menatapku di antara keremangan cahaya lampu petromaks penjual nasi goreng keliling.

 Matanya teduh menatapku di antara keremangan cahaya lampu petromaks penjual nasi goreng keliling

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Entah berasa atau nggak romance nya. Aku bikin agak terburu-buru. Biasanya kalo nulis roman gini nggak cukup 1000 kata. Hehehe... Ini mah cuma 800an kata.

Semoga tetap bisa dinikmati, ya

Catatan PelangiWhere stories live. Discover now