03 - Keyboard

1.1K 44 6
                                    

"Kisah ini bermula saat aku bertemu dengan seorang mahasiswa semester satu di salah satu Universitas yang aku impikan."




-Dua minggu sebelum pendaftaran dimulai-

Aku bangun dari tidurku saat ku dengar suara Ibu memanggil namaku beberapa kali dari luar kamar. Dengan terpaksa aku bangun dari tidurku, lalu pergi menuju kamar mandi.

Tidak, jangan lagi.

Aku hanya bisa menghela napas saat pintu kamar mandi tertutup, menandakan ada seseorang di dalam sana. Dengan malas, aku melangkahkan kakiku menuju ruang makan. Ku lihat Ibu sedang sibuk membuat sarapan ditemani senandung nyanyian yang keluar dari pita suaranya. Tak lama kemudian Ayah keluar dari kamar mandi. Sesaat dia melihat ke arahku, lalu tersenyum padaku. Sedangkan aku hanya menatapnya datar, lalu berjalan menuju kamar mandi.

Selesai dengan acara mandi dan siap dengan seragam sekolah, aku berjalan menuju meja makan dan mulai memakan sarapan pagiku yang ternyata hanya selembar roti isi daging dengan segelas susu putih. Selama makan, Ayah dan Ibu terus membicarakan tentang keadaan kakak laki-lakiku yang kabarnya akan menjadi seorang Ayah.

Pahami saja, dia sudah menikah sejak beberapa bulan yang lalu.

Aku mengucapkan terima kasih setelah acara sarapan pagi selesai, lalu pergi ke sekolah bersama Ayah setelah sebelumnya mengucapkan salam pada Ibu. Selama perjalanan, kami hanya diam. Bukan karena kami tidak dekat, tapi memang sifatkulah yang tidak bisa mengutarakan apa yang sedang aku rasakan kepada orang lain, terutama keluargaku sendiri.

"Hati-hati selama disekolah, belajar yang baik." Ayah kembali mengingatkanku setelah kami sudah sampai sekolah.

"Hm. Aku masuk dulu." Setelah itu aku pergi meninggalkannya yang masih menungguku sampai aku benar-benar masuk ke dalam area sekolah.

Keadaan sekolah terlihat ramai, karena jam sudah menunjukkan pukul 06.15 pagi yang artinya bel masuk akan berbunyi lima belas menit lagi. Beberapa kali aku mendengar suara teman sekelas yang menyapaku, tapi aku hanya melihatnya dan kembali melangkahkan kakiku menuju ruang kelas.

Ah benar, perkenalkan, namaku Fina Nanda. Kalian bisa memanggilku Fina atau Fi. Hanya seorang siswi berkacamata dengan tinggi badan sekitar 159 cm. Tidak menyukai makanan bersantan, pemikiran yang tidak sesuai ekspektasi dan yang paling terpenting adalah seseorang bermuka dua, aku paling membenci hal itu. Sebaliknya, aku menyukai eum sejenis benda-benda lucu, seperti kaos kaki bergambar manusia atau boneka yang tidak biasa di temui di banyak toko.

Sejak kecil aku memiliki cita-cita menjadi seorang dokter. Kenapa? Karena dua kakak laki-lakiku masuk Universitas XX dengan jurusan yang aku inginkan dan aku ingin membuktikan pada mereka bahwa aku juga bisa sukses seperti mereka.

Saat ku buka pintu kelas, aku melihat beberapa teman kelas menoleh ke arahku, lalu detik berikutnya kembali pada kegiatan masing-masing. Tapi tidak dengan salah satu siswi yang harus aku anggap sebagai teman sebangkuku ini. Dia terus melihat ke arahku sambil menampakkan senyum cerianya yang mungkin bisa membuat orang yang melihatnya pingsan.

Dia, panggil saja Nia, teman sebangku paling konyol juga pintar yang pernah aku temui di muka bumi ini. Tapi meskipun begitu, aku akui dia adalah teman yang sangat mengerti diriku apa adanya.

"Aku dengar Kakak dari Universitas XX akan datang ke sekolah." Ucapnya setelah aku duduk di sebelahnya.

"Mau jadi Guru sementara disini sama seperti mahasiswa YY?"

"Nonono. Aku dengar katanya ada medspin." Lalu Nia memperlihatkan gambar kartu lewat ponselnya.

Aku hanya mengangguk, lalu mulai menceritakan hal-hal yang membuatku sedikit kesal pagi ini pada Nia sampai bel masuk berbunyi dua kali yang menandakan kita harus menghentikan cerita kita terlebih dahulu.

One Shoot in Your Diary [Completed]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt