Laki-laki yang menabraknya itu, Gilang, kemudian menepuk bahunya lagi. "Gue duluan ya. Good luck buat lomba nanti." Lalu berjalan menuju Aula bersama rombongan temannya yang sambil menyanyikan entah lagu apa dengan nada-nada sumbang lantaran sambil berlompatan dan tertawa.

Sesuatu yang begitu berkontradiksi.

Ketika Raffa merasa begitu sendiri di tengah keramaian, Gilang tak lain dan tak bukan adalah keramaian itu sendiri.

***

"Inhale, exhale." Rena membalas tatapannya sendiri melalui cermin. Ia merapikan rambutnya sebagai sentuhan terakhir. Ia tidak pandai memoles wajah, sedangkan beberapa temannya saat ini sedang memakai lipstick, blush on, dan berbagai perlengkapan lain yang memenuhi wastafel toilet. Semuanya sibuk menyiapkan penampilan terbaik.

"Ren?" Risa menyembulkan kepalanya dari pintu. "Udah belom?"

"Udah, udah." Rena buru-buru mencuci tangan, mencipratkan sedikit airnya ke wajah seolah dengan demikian ia bisa menjadi lebih tenang.

"Lo urutan pertama kan?" Risa mencuri pandang pada kertas lirik di tangan Rena. "Ayo, coba latihan terakhir, Ren."

Laras mengeluarkan ponsel dan mengangkatnya tinggi-tinggi. "Selfie dulu, dong. Mau update."

"Woi, woi, jangan tengah jalan!" Gilang dengan sengaja menyenggol ponsel Laras hingga tak sengaja terlepas dari tangannya. Untung, Gilang dengan sigap menangkap. Ia menyengir lebar melihat para saksi mata menahan napas terkejut.

"KALO BENERAN JATUH GIMANA, LANG!" jerit Laras. Dengan segera merebut kembali ponselnya dari tangan Gilang. "Ini baru aja diservis, tau?!"

Rena mendengus. "Jangan macem-macem ah, Lang. Masih pagi."

"Siapa juga yang bilang udah siang." Gilang masih mempertahankan cengirannya. Kali ini ia sendirian, berpencar dari teman-temannya yang sedang beramai-ramai berusaha melewati pagar sekolah untuk memesan mie ayam seberang sekolah.

Risa dengan cepat menggaet lengan Laras dan berkata, "Ren, gue baru inget tadi dipanggil Bu Nina. Gue duluan ya? Ras, temenin gue dong."

Rena mengerjap beberapa kali. "Eh, tunggu—"

"Byeee Rena."

Kedua menjauh dengan Laras yang memberontak dan samar-samar terdengar bertanya, "Apaan sih, Ris? Lo kan gak dipanggil. Ih, lepasin!"

Cengiran Gilang berubah menjadi senyum penuh arti.

"Ekhm—gue ke Aula dulu ya. Gue mau persiapan."

"Bentar, Ren." Gilang menggeser tubuhnya untuk menghalangi jalan Rena.

"Apa?"

"Hmm."

"Apa?" tanya Rena lagi tak sabar.

"Hmm—"

"Kalo cuma mau hmm hmm doang mending lo duet sama Nissa Sabyan."

Gilang kontan tertawa. "Boleh juga, duet sama dia. Terus ikutan musikalisasi puisi. Kita bersaing deh. Yoi gak tuh, Ren?"

"Gak."

Keduanya bertatapan selama beberapa detik sebelum sama-sama tertawa.

"Apa sih, Lang? Cepetan. Kasian Raffa udah nungguin."

"Ooohh, ditungguin Raffa?" Gilang menggoda, meski kata-kata itu terasa aneh keluar dari mulutnya. Ia tidak biasanya seperti ini. Gilang menyadari hal tersebut.

"Serius, Lang. Kalo gak mau ngomong apa-apa, gue pergi nih." Suara check sound samar-samar terdengar dari Aula. Rena semakin tak sabaran. Ia berusaha melewati Gilang, namun laki-laki itu terus menghalangi jalannya.

"Yaudah gih, pergi."

Rena mengerutkan kening tidak mengerti. "Terus kenapa nyuruh gue nunggu?"

Gilang menggedikan bahu. "Gak apa-apa, kangen aja liat lo. Tapi sekarang udah gak kangen. Gih, sana pergi."

Rena tambah mengerutkan kening sebelum memutar bola mata dan menghela napas panjang. "Dasar gak jelas." Ia berusaha melewati Gilang, kali ini laki-laki itu tidak menghalanginya. Melainkan mengulurkan tangan.

Rena menoleh terkejut.

Gilang hanya tersenyum. "Bacanya nanti aja." Laki-laki itu langsung melambaikan tangannya dan berlari menembus keramaian lorong.

Rena memandang tubuhnya menjauh. Di tangannya terdapat sepucuk surat yang baru saja diselipkan Gilang ke antara jemarinya.

Dengan tidak mengerti, Rena menaruhnya ke dalam kantong sebelum berderap menuju Aula dengan jantung berdegup.

Ada begitu banyak tanda tanya.

Tapi tidak satupun bisa ia jawab saat ini.

[ RUR ]

30/07/2018

***

Telat sehari. Gapapa ya?

R untuk Raffaजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें