Bagian 26: Sahabat (II)

2.9K 264 77
                                    


Di kediaman Bagas dan Brian

Suara ketukan terdengar di pintu dan Bagas langsung bergegas berlari menuju pintu depan untuk melihat siapa yang mengetuk. Ia mengintip dari jendela dan melihat Tami berdiri di depan pintu, sedikit kehujanan karena cuaca yang memang sedang hujan badai.

"Tam, ngapain ke sini?" Bagas mempersilahkan Tami masuk. Tami melepaskan jaketnya dan duduk di kursi selagi Bagas menyiapkan teh hangat.

"Gak apa apa, Gas. Kayaknya lo butuh temen aja."

Bagas tersenyum kecil dan mengucap, "Makasih ya, Tam."

"Brian gimana?"

Bagas duduk lemas di samping Tami. "Masih belum ngabarin apa-apa. Gue coba hubungi Kirana juga belum di balas. Kayak Kirana ngehindarin gue. Gue gak ngerti kenapa. Sampai kapan sih mereka mau gini?"

"Awalnya kenapa dia bisa keluar?"

"Dia tersinggung sama omongan gue," jawab Bagas mengingat malam itu.

"Ohhh. Terus?"

"Ya dia merasa bisa meng-handle semuanya sendiri. Tapi apa? Gue tanya Rizky, kuliahnya Brian cabut-cabutan. Muti juga bilang dia keluar dari tim bola."

"Lo tau alasan dia ngelakuin semua itu?" tanya Tami lagi.

Bagas berpikir dan menjawab. "Dia pengen jadi bapak yang bertanggung jawab."

"Bukannya itu bagus?" lanjut Tami lagi.

"Gue gagal ngedidik dia. Dia ngelakuin kesalahan yang dulu gue lakuin. Dia gak mau dengerin gue, dia ngerasa bisa ngejalanin semuanya sendiri...."

"Lo dulu gitu gak pas ini kejadian ke lo?" potong Tami.

Bagas mengangguk dan malu malu mengakui, "Ya.. iya."

"Udah gue bilang berkali kali. Kalian itu sama. Dia sama batu nya sama lo. Persis kan?"

"Ya.. iya sih."

"Gas, lo gak gagal ngedidik dia. Brian masih labil, dia baru mulai ngerasain gimana jadi orang dewasa dan dia langsung kena masalah kayak gini. Kalau orang lain? Udah aborsi pasti. Selesai masalah. Tapi Brian gitu kah? Enggak,

"Gas. Dia tau yang namanya tanggung jawab. Dia berani ambil pilihan. Dia berani berkorban. Dia sadar persis bahwa kita gak bisa dapat semuanya dalam hidup, harus ada yang dikorbankan. Terlepas dari yang dia lakukan benar atau salah, lo... sudah membesarkan anak yang bertanggung jawab dan lo harus bangga atas hal itu," ujar Tami menenangkan Bagas yang langsung berdiri ketika mendengar omongan Tami barusan.

"Gue gak tega, Tam, sama dia," ujar Bagas yang tak kuat lagi menahan bebannya sendiri. "Gue gak tega ngebayangin dia harus ngejalanin semua masa-masa berat itu. Gue cuman pengen ada di samping dia tapi bahkan dia gak ngizinin gue!"

Tami memeluk Bagas dan membiarkan Bagas mengeluarkan emosi di pelukannya. Mengeluarkan semua beban yang selama ini ia tahan sendiri.

"Dia bales chat gue seadanya, gak mau jawab kalau gue tanya, dia nganggep gue gak pernah ngerti dia dan gak percaya kalau dia bisa tanggung jawab."

"Gas, dia masih labil."

"Tam, dia ngelakuin persis kayak yang gue lakuin ke Bapak dan saat ini... gue tau apa yang Bapak rasain waktu itu. Gue cuman gak mau kayak bapak yang ngebuang gue dari keluarga. Gue mau dukung dia dan ada buat dia."

Tami mengusap punggung Bagas. "Gas, jangan dipendem dong kalo ada masalah gini. Cerita sama gue. Brian udah gue anggep anak sendiri, bagi beban lo ke gue. Mungkin gue bisa bantu buat ngomong ke dia. Jangan nyerah, Gas. Dia emang batu. Lo jangan jadi batu juga. Lo harus jadi air. Pelan pelan pelan tapi terus menerus netes, lama lama air itu bisa memecahkan batu. Bukan karena air itu keras, tapi air itu selalu mengalir dan gak pernah berhenti. Itu yang dia butuhin sekarang. Sabar. Lo pasti ngerti cara pikir dia, dia kan anak lo."

Mio FiglioTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon