Dua Puluh Tujuh

34.7K 2.4K 46
                                    

Sore cerah, namun tak begitu dengan keadaan Rio.
Pria kecil itu baru saja habis dipukuli mamanya, sebab Rio berusaha untuk melarikan diri.

"Jika kau melakukannya lagi, Mama tidak akan pernah memberimu jesempatan untuk bertemu Adeline, Rio!" hardik Mama. Rio mengangguk dalam isak tangisnya.

"Ma ..." Isti membalikkan badan. Kemudian menatap anak laki-lakinya tersebut.

"Kenapa Mama jahat, sekarang?" tanya Rio. Isti menghampiri Rio, kemudian mendekatkan wajahnya pada wajah Rio.

"Mama melakukan ini demi kebaikanmu, Rio ... Percayalah. Mama menyayangimu lebih dari apa yang kau tahu. Nanti saat kau sudah dewasa, kau akan mengerti," jawab Isti sambil mengusap air mata Rio dengan kasar.

"Dengar, laki-laki tidak boleh cengeng! Kau harus tumbuh menjadi laki-laki yang hebat, Rio, kuat!" lanjutnya. Lalu berdiri dan meninggalkan Rio.

Rio menangis dalam keadaan ruangan yang remang-remang. Anak sekecil itu takkan mengerti apa yang dikatakan oleh Isti barusan tadi. Yang ia tahu hanya sekolah, main, dan bersama dengan orang-orang yang menyayanginya.

*

"Permisi! Miss Ira!" seru Audrey. Adeline berdiri di belakang Audrey. Ia belum bertemu dengan Wali kelasnya itu. Sebab, tadi ia terlalu banyak mengobrol dengan Rossi di sekokah.

Cklek

Pintu terbuka. Miss Ira keluar dari dalam rumahnya. Perempuan dewasa itu nampak jauh terlihat lebih segar dan muda, dengan mengenakan celana jeans pendek dan kaos oblong.

"Hey! Ayo, masuklah ..." ujarnya seraya membuka pintu lebar-lebar.

Miss Ira adalah seorang perempuan dewasa yang belum menikah. Meski usianya sudah di berkepala tiga. Ia tinggal sendiri dirumahnya yang kecil namun rapi dan bersih itu.

"Duduklah, hey Adeline, kau baik-baik saja bukan?" sapa Ira. Adeline mengangguk.

Dan selanjutnya, Adeline hanya diam mendengarkan percakapan dua perempuan dewasa itu.
Ia hanya menjawab beberapa pertanyaan yang kadang tiba-tiba ditujukan pada dirinya.

*

"Jadi maksudmu, diduga jika Liza dirasuki arwah Tie, ketika melakukan serentetan pembunuhan itu?" tanya Audrey. Begitu Ira selesai menceritakan soal misteri bangku kosong itu.
Ira mengangguk.

"Kau bilang, jika Tie mati secara misterius? Kenapa?" tanya Audrey kemudian. Ira berdiri.

"Sebentar ..." ia meninggalkan Audrey dan Adeline yang sama-sama terdiam.

Beberapa saat kemudian, Ira kembali. Ia membawa sebuah Album Foto.

"Ini, dialah Tie ..." Ira menunjukkan sebuah foto gadis. Adeline menyeruak ke antara keduanya untuk melihat wajah dalam album foto tersebut.

"Di dia hantu itu..." gumam Adeline. Matanya terbelalak dan ia membekap mulutnya sendiri.
Audrey meremas tangan Adeline.

"Sayang, kau ingat apa kataku tadi pagi?" tanya Audrey.
Adeline mengembuskan napas perlahan. Ia mengangguk, dan mencoba menenangkan diri.

'Ayo Adeline! Kau hanya sedang menjadi aktris horror!' ujarnya dalam hati.

*

"Tie adalah gadis pendiam. Tak banyak yang mengenal gadis itu. Ia bukan salah satu anak yang menonjol di sekolah, bahkan di dalam kelasnya sekalipun...

"Satu semester kemudian, Tie masuk menjadi anggota Eskul Opera di sekolah. Dalam setiap peran dibeberapa kali penampilannya, Tie terlihat begitu mengkhayati perannya. Dari situlah, keberadaan Tie mulai 'diakui' oleh sekolah...

"Sekolah kami memang mempunyai keunggulan dibidang Opera, hingga berkali-kali kami mengikuti banyak sekali Event. Bahkan hingga ke luar negeri," Ira menghentikan ceritanya sejenak.

"Pada saat itu, seusai memenangkan sebuah kejuaraan Opera di Shanghai, Tie ditemukan tewas di dalam kelas. Hanya selang dua hari setelah kejuaraan tersebut...

"Tak ada yang mengetahui sebabnya apa, namun Tie tewas dengan mengenakan Kostum yang sama ketika kejuaraan saat itu..."

"Lalu?!" Seru Adeline.

"Dan yang lebih tragis, cara tewasnya Tie, serta luka yang terdapat disekujur tubuh Tie, semuanya sama persis dengan peran yang dimainkannya dalam kejuaraan Opera di Shanghai ..." lanjut Ira.

Adeline terperangah. Ia menepuk pipinya sendiri, dan meyakinkan bahwa ini bukan mimpi!
Apa mungkin kenyataan ada yang benar-benar seperti itu?

"Dimana Polisi?" pertanyaan kembali diajukan oleh Adeline.

Audrey tersenyum kepada Adeline, ia senang mendengar Adeline aktif menanggapi cerita Ira.

"Usaha Polisi hanya menghasilkan dua kata, Adeline. SIA-SIA," jawab Ira. Adeline mengembuskan napas gusar.

"Maksudmu, tak ditemukan Satupun bukti siapa pelaku pembunuhan itu?" ulang Audrey. Ira mengangguk.

"Hingga kasus itu ditutup, dan hingga kini, tak ada yang benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi..."

Sunyi Senyap

Ketiganya larut dalam pikiran masing-masing.

"Sejak kapan teror itu muncul?" tanya Audrey memecah kesunyian.

"Satu tahun kemudian, sejak Liza resmi menjadi murid di sekolah kami," jawab Ira.

"Apa hubungan Tie, Liza dan aku, Audrey..." gumam Adeline.
Audrey tersenyum.

"Good question, Adeline! Bukankah itulah yang sedang kita selidiki sekarang?" Audrey mengedipkan mata.
Adeline tersenyum. Begitupun Ira.

"Aku mendukung kalian, Audrey. Aku pun merasa risih setiap kali ada murid baru dan... Bangku itu tidak diijinkan dikeluarkan atau pun diisi murid lain. Dan Adeline... Maafkan aku. Aku rasa, itu semua terjadi karena aku yang memintamu untuk duduk dibangku kosong itu," Ira menatap Adeline. Adeline mengangguk pelan.

*

Adeline dan Audrey sudah berada dikediaman Audrey. Sementara itu, hari hampir mendekati malam.

"Hmm Adeline, apa kau takut jika aku tinggal sendiri?" tanya Audrey. Setelah keduanya menyantap beberapa potong roti yang Rey beli tadi sebelum pulang.

Adeline diam, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah Audrey.

"Aku... Aku ..."

"Baiklah, kau ikut denganku, Adeline," lanjut Audrey. Ia dapat membaca apa yang ada dalam pikiran Adeline.

Hey, Audrey sudah cukup mahir membaca pikiran orang hanya dengan mencium baunya! Oh tidak! Menatap matanya, maksudku ...

RUMAH SEBERANG JALANWhere stories live. Discover now