Sepuluh

41.5K 2.8K 88
                                    

Sore cerah, Adeline sedang bercanda dengan Elmo, disebuah ayunan di taman belakang.

"Adeline, diluar ada teman yang mencarimu!" seru Mama dari ambang pintu menuju belakanh. Adeline mengangguk. Kemudian bergegas dan mengikuti langkah mama.

'Eh, apa itu?' Adelin menghentikan langkah.

"Adeline, jangan biarkan temanmu menunggu lama," suara mama mengurungkan niat Adeline.

Rosaline nampak mengembuskan napas lega, begitu melihat Adeline keluar dari dalam rumahnya. Rossiana memang gadis yang aneh, setiap saat hidupnya seperti selalu resah, ia selalu mengembuskan napas, bahkan sering sekali.

"Kita bicara di kamar, Rossi," ajak Adeline sambil menggandeng lengannya. Mama tersenyum pada Rossi dan Rossi membalasnya sambil sedikit membungkuk. Mama menatap keduanya menaiki anak tangga.

Rio, mengintip dari balik pintu kamarnya. Kemudian menutup kembali pintu kamarnya dengan kencang.

BRUGGG

Rossiana mengernyit saat melewati pintu kamar Rio.
"Adikku. Dia marah sejak pagi tadi, karena papa membatalkan rencana kami untuk mengunjungi tetangga," jelas Adeline. Seakan mengerti arti kernyitnya Rossiana.

Rossiana mengangguk-anggukkan kepala. Dan keduanya masuk ke dalam kamar Adeline. Adeline menguncinya dari dalam, agar tak ada siapapun yang masuk ke dalam kamarnya tiba-tiba.

*

"Adel, kenapa kalian pindah kesini?" tanya Rossiana sambil menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur Adeline.

"Biasa lah, soal pekerjaan papaku. Dipindah tugaskan ke rumah sakit dekat sini. Ah ya Rossi, ayolah ceritakan padaku soal Armila," pinta Adeline.

Rossiana diam sejenak.

"Mmm... Begini, Armila adalah korban kedua yang meninggal dunia. Sebelumnya, Viona meninggal tragis setelah dia duduk dibangku dimana kau duduk saat ini," ujar Rossi. Adeline membelalak. Ia menatap Rossiana dengan tak percaya.

"Itulah kenapa kemarin aku tanya, apa kau baik-baik saja, Adel..." lanjutnya.

"Aku cuma tidak ingin ada korban berikutnya, setelah kematian yang kedua itu. Kami semua sebenarnya ingin memberitahumu sejak awal, tapi seluruh guru di sekolah seakan sepakat menjadikan ini sebagai rahasia umum antar penghuni sekolah," lanjut Rossiana.

"Jika memang begitu, kenapa bangkunya tidak dipindahkan saja, Rossi?" tanya Adeline.
Rossiana menggeleng cepat.

"Itu tidak mungkin, Adeline. Seorang penjaga sekolah bahkan terbunuh setelah dia memindahkan bangku itu," jawab Rossiana.

"Dari mana kau tahu banyak soal pembunuhan berantai itu, Rossi?" tanya Adeline lagi.

"Armila adalah sepupuku, Adel..." Rossiana menunduk. Setetes air mata jatuh dipangkuannya, ia selalu berduka jika bercerita tentang Armila dan nasibnya yang tragis.

"Maafkan aku..." gumam Adeline pelan, ia merasa tidak enak atas ucapannya tadi. Rossiana mengangkat wajah kemudian tersenyum.

"Siapa pembunuh mereka? Apakah Polisi tidak turut campur dalam kasus itu?" tanya Adeline.

"Ada. Polisi telah menetapkan seorang siswi sebagai tersangka dari pembunuhan itu. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Gadis itu dibebaskan. Dan sekarang, dia berada di rumah sakit jiwa. Diduga kuat, Liza mengidap gangguan kejiwaan..." jawab Rossiana.

Mulut Adelina menganga lebar.

"Skizofrenia adalah penyakit kronis, Rossi. Lalu, bagaimana bisa Liza masih bisa bersekolah? Apa mungkin dia Psikhopat?" ujar Adeline. Rossiana menggeleng pelan.

"Entahlah, aku tak mengerti. Aku hanya mendengar, jika Liza mengidap Skizofrenia, hanya itu. Soal bagaimana dan apa, aku benar-benar tidak tahu..." jawabnya.

"Lalu, bagaiman awalnya Polisi menetapkan Liza sebagai pembunuh ketiga orang itu?"

"Harmonika. Polisi selalu menemukan harmonika disetiap kasusnya. Sedangkan kami semua tahu, satu-satunya orang yang selalu membawa harmonika kemanapun, dia adalah Liza," jawab Rossiana. Adeline diam membeku, ia sedang mengingat-ingat sesuatu.

"Kenapa, Adeline?" tanya Rossiana.

Adeline menggelengkan kepala. Ia takkan menceritakannya pada Rossi sebelum ia meyakini benar atau tidak apa yang ada dalam pikirannya saat ini.

RUMAH SEBERANG JALANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang