Dua Puluh Empat

35.1K 2.5K 46
                                    

Jessi akhirnya tidur di kamar Chua. Awalnya, Chua marah-marah dan menolak. Karena kata Chua, Jessi sering mendengkur jika tidur. Dan itu mengganggunya.
Namun Hans rasa, pria kecilnya itu hanya tengah mencari alasan. Nyatanya, Jessi tidak pernah mendengkur.
Chua mengijinkan Jessi tidur dengannya dengan syarat, Jessi tidur di sofa.

Sementara itu, Adeline tidur dikamar Jessi dengan ditemani Audrey dan Hans yang sambil mengobrol.

"Siapa dia sebenarnya, Audrey?" tanya Hans.

Audrey menceritakan semuanya dengan suara pelan. Tentang bagaimana ia menemukan Adeline pada saat itu hingga segala cerita yang dialami Adeline.
Hans mengembuskan napas panjang. Ia menatap Adeline dengan iba.

"Kasihan anak itu..." gumamnya. Audrey mengangguk.

*

Pagi Di Sebuah Rumah...

"Ini semua gara-gara kau, Isti! Sudah kukatakan padamu jika Adeline tidak akan menjadi jauh lebih baik setelah ini!" teriak Gabriel.

Isti meletakkan hakpen dan benang rajut dalam genggamannya. Perempuan itu juga melepaskan kaca matanya dan meletakkannya tak jauh dari hakpen nya.

"Kau menyalahkanku atas apa yang telah kau perbuat, Gabriel!" balas Isti.

Gabriel melemparkan Almamaternya sembarangan. Ia menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam.

"Apa yang harus kita lakukan? Kemana kita akan mencari Adeline? Kau pikirkan itu, Gabriel! Pikirkan!" lanjut Isti.

"Diam!" bentak Gabriel. Isti mendesah, ia meninggalkan Gabriel dan membanting pintu kamar.

"Diam! Apa tak ada kerjaan lain selain menangis, Rio!" hardik Isti.

Rio, anak kecil itu menahan isakannya. Ia membekap mulutnya sendiri, agar tak mengeluarkan suara isakan.

Rio yang malang. Anak kecil itu meringkuk di atas tempat tidur kecil dan ruangan yang pengap.

Berkali-kali Rio menyebut nama Liza dan Adeline bergantian. Namun usahanya tak menghasilkan apa-apa. Kedua perempuan yang disayanginya tak juga datang untuk membebaskan dirinya.

Air mata anak berusia enam tahun itu mengalir lagi semakin deras. Ia menutup kedua telinganya, agar tak mendengar caci maki kedua orang tuanya.

Rio kecil membayangkan beberapa waktu yang sudah lewat yang teramat indah. Kasih sayang orang tuanya, segalanya ia miliki. Bukan seperti saat ini, ia terkurung dalam kamar yang pengap. Rio takut dan ingin bertemu Liza atau Adeline saat ini.

*

"Morning mom, Dad...Mmmm... Morning, Adeline. Eh, apakah kau baik-baik saja, Adeline?" sapa Jessi pagi itu.

Ia meneliti Adeline dari atas hingga bawah. Kemudian mengecup pipi Audrey dan Hans bergantian.

"Morning sayang ..." jawab Hans dan Audrey. Adeline tersenyum dan mengangguk.

"Aku baik-baik saja, Jessi. Maafkan aku mengacau tidurmu tadi malam," jawab Adeline sembari menundukkan kepala. Jessi mengembuskan napas lega seraya mengelus dada.

"Syukurlah ..." gumamnya.

Adeline, Hans dan Audrey terkekeh melihat kelakuan gadis kecil itu. Kecuali Chua. Pria kecil yang jarang sekali tersenyum itu baru saja turun dari kamarnya.

"Morning Mom, Dad ..." ia mengecup juga pipi Audrey dan Hans. Kemudian matanya beralih pada Adeline.

"Tentu saja kau mengganggu sekali, tadi malam, A ..."

"Adeline, Chua! Tak mungkin kan kau lupa? Aku tahu kau berpura-pura lupa untuk menarik perhatian!" timpal Jessi.

"Sudah-sudah. Jessi, tutup mulutmu dan lanjutkan sarapannya. Chua, duduk! Lekas habiskan susu mu." Audrey menatap tajam keduanya. Hanya dengan tatapan itu keduanya menghentikan perseteruan.

"Jadi begini anak-anak, Mommy sudah mengatur strategi. Kalian berangkat Sekolah, Mommy yang antar. Tapi nanti, kalian pulang dijemput uncle Bondan dan pulang ke rumahnya. Mommy sudah siapkan semuanya. Seandainya Dad tidak pulang larut,  Dad akan menjemput kalian. Paham?" jelas Audrey. Jessi tersenyum senang.

Tentu saja, tinggal di rumah pasangan Bondan dan Maura adalah sebuah hal yang menyenangkan. Terlebih, karena ia bisa bertemu dengan si kecil Fania.

Begitupun Chua. Ia nampak mengangguk dengan pasti.
Sementara itu, Hans hanya diam dan tersenyum sesekali. Dan Adeline, lama sekali ia memperhatikan keluarga itu satu persatu. Sungguh, ia iri dengan keluarga itu ...

*

Audrey dan Adeline sudah berada dijalanan, berdua. Setelah mereka mengantar Joshua dan Jessi ke sekolah.

"Adeline, sampai kapan kau akan bolos sekolah?" tanya Audrey. Adeline menggelengkan kepala.

"Aku tak tahu, Audrey ..." jawabnya.

"Baiklah, sekarang kita akan menuju tempat tinggalmu, dan aku akan memulainya dari sana. Jika Papamu ada dirumah, semua akan menjadi lebih mudah," ujar Audrey. Adeline hanya mengangguk.

Land Rover Audrey melesat lincah menembus keramaian pagi. Sekali lagi, Adeline mendecak kagum akan kepiawaian Audrey menyetir dijalanan. Ngebut sekali, namun sangat berhati-hati.

Ia juga mengingat lagi kejadian semalam, dan ia bergidik. Membayangkan seandainya ia tak ditemukan oleh Audrey, entah bagaimana nasibnya saat ini.

*

Kedua perempuan berbeda generasi itu baru saja tiba dikediaman Adeline yang sunyi sepi. Adeline mengajak Audrey turun, dan keduanya melangkah memasuki rumah mewah tersebut.

Audrey menatap ke rumah seberang jalan. Dan dengan mata detektifnya, ia melihat seseorang tengah mengintai dari balik tirai, disebuah jendela di rumah seberang jalan.
Audrey tersenyum kecil, sambil melanjutkan langkah mengikuti Adeline.

RUMAH SEBERANG JALANWhere stories live. Discover now