Dua Puluh Lima

34.9K 2.5K 64
                                    

"Benar kan kataku, Papa tak pulang tadi malam..." gumam Adeline. Saat pintu rumah nyatanya tak terkunci.
Audrey meneliti rumah besar nan mewah itu, kemudian melanjutkan menaiki anak tangga.

Audrey menghentikan langkah, dan melihat serpihan beling bertebaran disepanjang lantai Dua.

"Ini kejadian dua malam yang lalu, Audrey..." ujar Adeline.

"Hey, kau belum menceritakan soal ini, Adeline! Siapa yang melakukan ini?" seru Audrey.

Ia menatap ke langit-langit ruangan dilantai dua tersebut. Beberapa buah lampu hilang, dan di bawah kakinya, adalah serpihan lampu pecah.

"Aku tak tahu, Audrey. Aku rasa... Hantu itu." jawab Adeline pelan.
Audrey hanya mengangguk.

Di sebuah lukisan, mata Audrey tiba-tiba saja terpaku, pada sebilah pisau yang menancap disana.

"Mengapa pisau itu bisa ada disana? Apa memang begitu?" tanya Audrey. Adeline menggelengkan kepala.

"Pisau itu yang memecahkan lampu-lampu. Dan ini, ia mengenai lenganku," jawab Adeline sembari memperlihatkan luka dilengan kirinya. Audrey mengangguk sambil melanjutkan langkah, setelah meneliti luka Adeline yang sudah mulai mengering.

"Ini kamarmu?" tanya Audrey. Adeline mengangguk.

"Elmo ..." desah Adeline. Melihat potongan Elmo masih teronggok didalam kardus.

"Elmo?"

"Boneka kesayanganku yang juga dihabisi hantu itu, Audrey ..." jawab Adeline sambil terisak. Audrey meneliti Elmo, ia menemukan sesuatu yang aneh.

"Aku bawa Elmo untuk penelitianku ya, Adeline. Dan aku janji, setelah semuanya baik-baik saja, aku akan membetulkan Elmo untukmu," pinta Audrey.

Adeline tersenyum senang, ia mengangguk.

Audrey memasukkan seluruh potongan Elmo pada plastik yan dikeluarkannya dari kantong ajaib miliknya.

*

"Ini kamar Rio..." Adeline kembali menangis. Melihat Pigura besar yang berisi gambar dirinya dan Rio sedang berpelukan.
Audrey mengusap-usap bahu Adeline. Terasa sekali kesedihan itu sungguh dalam di mata Adeline.

"Dimana kamar orang tua mu, Adeline? Kita harus segera keluar dari rumah ini. Setidaknya kau. Kemaslah barang-barang yang ingin kau bawa, serta perlengkapan sekolahmu. Kau tinggal bersamaku sementara waktu. Sungguh, disini tak baik untukmu." pinta Audrey.

"Tapi, apa aku tak merepotkan kalian?" tanya Adeline. Audrey tersenyum.

"Tak ada yang merepotkan kami, Adeline. Maafkan sikap Chua, anak itu memang seperti itu. Jangan kau ambil hati, dia hanya bicara semaunya. Tapi sesungguhnya, Chua anak yang baik. Percaya padaku..." ujar Audrey sembari tersenyum dan menganggukkan kepala.

Adeline menatap wajah Audrey, kemudian mengangguk.
Ia melangkah, memberitahu dimana letak kamar Mama dan Papanya. Sementara itu, Adeline kembali ke kamarnya untuk menyiapkan keperluannya.

*

Audrey sudah berada di kamar orang tua Adeline. Ia mengedarkan pandangan. Audrey membuka tirai yang menutupi jendela kamar besar itu. Dan ia tertegun sejenak.

"Apa ini..." Audrey menelusuri penglihatannya, hingga matanya berhenti pada sebuah lemari besar.

"Hmmm..." Audrey berdeham.

Ia meneliti lemari tersebut, lalu mencoba menggesernya. Lemari tersebut hanya bergerak sedikit saja.
Ada yang janggal dengan warna cat tembok di belakang lemari itu.

Audrey mundur beberapa langkah, untuk memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.

'Benar, ini tak sama ...' bathinnya.

Audrey membuka lemari tersebut. Tak ada yang aneh. Di dalam lemari hanya terdapat tumpukan pakaian.
Namun sesuatu yang janggal terlihat lagi di lemari sebelahnya. Lemari yang berisi pakaian-pakaian yang bergantung pada hanger.

Audrey mengibaskan hanger-hanger tersebut.
Dan yeaahh!

Perempuan itu menjentikkan jari. Ia melihat sesuatu yang menempel pada belakang lemari tersebut.
Audrey mengetuknya dengan jari tengah. Tak bersuara!
Jari-jarinya menelusuri sesuatu, dan akhirnya, Audrey tersenyum.

Ia menemukan sesuatu yang menempel.
Audrey menyobeknya sedikit. Lagi, dan lagi agar ia tak menyobek karton tebal itu terlalu besar.
Audrey menemukan sebuah lubang cukup besar. Dan ajaibnya, lubang itu menembus tembok!
Audrey mencoba mengintai apa yang ada dibalik tembok, gelap.
Namun, matanya tertuju pada sebuah kayu yang menyangga di sebalik tembok. Bentuknya hampir mirip seperti sebuah talenan kayu. Namun ia menempel dengan paku beton sebagai pelekatnya.

'Ada seseorang di dalam sana ... Atau, setidaknya pernah ada yang tinggal di dalam sana ...'

Itu kesimpulan yang didapat oleh Audrey.

*

Aaaaaaarrrrggghhhhh .....

Audrey tersentak kaget. Ia buru-buru merapikan karton di dalam lemari tersebut dan berlari keluar kamar, untuk menemui Adeline di dalam kamarnya.

"Adeline, ada apa?!" seru Audrey.
Adeline pucat, ia berdiri di depan jendela kamarnya, dan menunjuk sesuatu, dipojok bawah tempat tidurnya.
Audrey berlari menghampiri apa yang ditunjukkan Adeline.

Sebuah kotak hitam, berisi selembar kertas dengan tulisan

I WANT YOU, ADELINE!

Seperti kemarin, tulisan masih dibuat dengan darah mengering.

Audrey mendekap Adeline. Itu adalah pemandangan buruk bagi seorang gadis kecil! Dimana ditulisan tersebut jelas-jelas teror yang ditujukan untuk gadis malang itu.

"Tenang Adeline, aku mohon padamu mulai saat ini, kau harus membiasakan diri dengan kejutan-kejutan kecil yang pasti akan sangat menakutkan buatmu. Tarik napas dalam-dalam, kemudian kau bayangkan, bahwa kau sedang menjadi aktris dalam sebuah film thriller. Kau tentu pernah menontonnya bukan?" Adeline mengangguk sambil menatap mata Audrey.

Entahlah, kedua mata Audrey selalu seperti mempunyai daya tarik yang luar biasa. Adeline bahkan merasa tenang hanya ketika ia bertatapan dengannya.
Audrey tersenyum.

"Aktris atau Aktor utama dalam sebuah film laga selalu menjadi pemenang, Adeline. Hanya saja, mereka butuh kekuatan lebih! Seperti kau, cobalah untuk mengurangi rasa ketakutan. Kita jalani dan nikmati permainan ini, seperti kau sedang bermain game. Paham?" Adeline tersenyum dan mengangguk.

"Good, darling ..." lanjut Audrey sembari mengecup kening Adeline.

Percayalah, seseorang yang sedang mengalami tekanan hanya butuh tatapan hangat, pelukan, senyuman tulus, dan kata-kata motivasi. Bukan sebuah perintah.
Audrey yang berprofesi sebagai detektif itu, adalah juga seorang Sarjana Psikolog yang terjebak dalam profesinya.

RUMAH SEBERANG JALANWhere stories live. Discover now