Delapan belas

34.8K 2.4K 78
                                    

"Ma... Aku pulang!" Adeline menghempaskan tubuhnya di atas sofa.
Setelah lima menit tak ada jawaban, Adeline kemudian berdiri. Dan berjalan, suara sepatunya menggema dalam rumah besar itu.

"Mama..." seru Adeline.

Sunyi senyap...

"Rio ..."

Adeline melihat tas sekolah Rio teronggok dibangku makan. Piring-piring sisa sarapan masih berada di atas meja.
Adeline mengernyit, entah kenapa ia merasakan ada yang tidak beres dengan siang ini.
Adeline berlari menaiki anak tangga.

"Rio!" suara Adeline kembali memantul.

Ia membuka pintu kamar Rio, kosong. Kemudian ia bergegas ke kamar mama. Juga kosong.

Dimana mereka?!

Adeline beranjak ke kamarnya.

Kosong juga!
Ia semakin gusar!
Adeline berlari menuju telepon rumah.

Tuuutttt Ttuuuuuuttt

'Angkaaaat ...'

teriak Adeline dalam hati. Posisi berdirinya pun kini sudah tak lagi diam. Kaki dan jemarinya bergerak-gerak tak menentu.

"Hallo ..." terdengar suara berat.

"Papa! Pa, ini aku!" seru Adelin.

"Ada apa Adelin? Papa sedang mengurus pasien! Nanti Papa hubungi kau lagi."

KLIK

Tut Tut Tut

"Pa! Papa! Tunggu Pa! Papaaaa ..." 
Adelin membanting gagang telepon dengan keras. Ia menangis dan bertekuk di bawah meja kecil itu.

Itulah yang kerap membuat Adeline sering meminta dibelikan Ponsel pada Papanya, Agar ia bisa mengirim pesan. Setidaknya, Papa akan membaca pesannya meski sesibuk apapun dia.

Adelin berdiri. Kemudian melangkah gontai, dan masih berharap, Mama hanya membawa Rio belanja, atau jalan-jalan, atau...

Adeline menggeleng -gelengkan kepala.

*

Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tak ada satupun tanda-tanda Mama dan Rio kembali, begitupun Papa.
Adeline yang masih mengenakan Seragam sekolah, lengkap dengan sepatu dan tas ransel dipunggungnya, berdiri dari duduk memeluk lututnya sejak beberapa jam yang lalu.

Suasana di dalam rumah gelap. Adeline berjalan untuk menyalakan seluruh lampu di dalam dan luar rumah. Tak lupa, gadis kecil itu juga menutup seluruh gorden.

Adeline melanjutkan kegiatannya di lantai dua. Sekilas, ia menatap tas Rio dikursi makan. Adeline buru-buru mengambilnya, dan ia memeluk tas Rio sembari menaiki anak tangga.

Air matanya tak henti meleleh. Ia bahkan tak peduli dengan suara dari dalam perutnya yang meminta jatah makan. Yang ada dipikiran Adeline saat ini hanya Rio!

*

Trteeekkk

Adeline yang duduk di tepian tempat tidur tersentak. Ia mendengar seperti suara kerikil yang dijatuhkan dari atas genteng rumah.

Trteeekkk

Lagi!

Adeline berdiri, jantungnya berdegup kencang. Gadis kecil itu menangis. Ia tak ingin hantu atau siapapun membunuhnya malam ini.
Tidak!
Setidaknya tidak malam ini!

Adeline merapatkan tubuhnya di dinding. Entah apa yang harus dilakukannya saat ini, kecuali bibirnya komat kamit membaca doa apa saja yang diingatnya.

Tak terkecuali, doa sebelum tidur!

Oh Tuhan, Adeline menggeleng-gelengkan kepala, agar ia benar-benar fokus melapalkan doa-doa.

Suara itu menghilang. Adeline mengembuskan napas panjang. Ia lelah, ia ingin keluar dari rumah itu, tapi takut yang menghinggapi dirinya, terlalu menjadi-jadi. Bahkan untuk sekedar keluar dari kamar dan menuruni anak tangga.

RUMAH SEBERANG JALANWhere stories live. Discover now