10

269 39 2
                                    

Yang Jisung lihat begitu ia membuka pintu kamar mandi adalah Jeongin yang tengah duduk di kursi.

"Bang Jeongin, nggak tidur?"

Jeongin menoleh dan tersenyum. "Oh, halo Park Jisung."

"Apasih bang? Ngucapin halo-halo, aneh banget macem nggak ketemu berapa lama gitu," cibir Park.

Jeongin terkekeh. "Gue takut, Sung."

"Heh, kenapa?" tanya Park. Matanya membulat melihat Jeongin meletakkan sebuah pisau besar dan kecil di atas meja. "Gue di suruh bunuh orang."

"E-eh? Si-siapa?"

Jeongin terkekeh lalu mengangkat telunjuknya menunjuk ke arah Park, lalu tanpa aba-aba menendang lelaki yang lebih muda setahun darinya itu hingga terjatuh. "Lo lah, bego."

"B-bang, ja-janga- ARRRRRGHHHH."

Walaupun lelaki itu tersenyum puas. Matanya berkaca-kaca. Dengan sedikit gemetar, lelaki itu berjongkok di dekat Park. "Ayo Jeongin, lo udah pernah lakuin ini, jadi nggak usah takut."

"APA YANG LO LAKUIN HWANG JEONGIN?"

Mark menutup mulutnya begitu melihat Jeongin menusuk dan mengoyak perut Park dengan brutal.

"Jeongin kenaー Jeongin?" Hyunjin menatap tak percaya adiknya yang tengah brutal.

Jeongin menoleh dan tersenyum meski tangannya bergetar. "Eh, abang."

"Jeongin lo-"

"Maaf ya Hyunjin, kayaknya adik lo harus kehilangan nyawanya," potong Yuqi yang berada tepat di samping Hyunjin.

"Ma-maksudnya?" Hyunjin linglung, lelaki itu hanya melihat Yuqi yang berjalan sambil menodongkan sebuah pisau di belakang kepala adiknya.

"Nyawa dibalas nyawa."

"Eiiits, bentar dulu kak Yuqi. Ada yang mau gue omongin," ucap Jeongin segera menghindar. Lelaki itu menatap satu persatu diantar saudara-saudaranya dan menutup matanya.

"Gue udah ngelakuin yang lo suruh, jadi jangan bunuh abang gue, oke?" Jeongin kembali membuka matanya dan menatap Hyunjin yang masih menatapnya dengan tatapan tak percaya.

"Jeongin lo-"

"Abang, mau denger satu cerita nggak?" tanya Jeongin sambil tersenyum dan membuang pisaunya ke lantai. "Tentang kematian orangtua kita."

"Mama sama Papa enggak meninggal karena kena perampokan, tapi karena aku," cerita Jeongin sambil tersenyum karena ia kembali menggunakan kata 'aku' setelah sekian lama.

"Tau enggak kenapa? Aku selalu sabar meski mereka nggak pernah anggep aku ada, mereka selalu bandingin aku sama abang, tapi untungnya abang selalu semangatin aku dan bilang, kalo aku belajar dengan giat, Mama sama Papa pasti berubah. Namun, ternyata enggak. Aku sakit hati. saat itu Abang mau sekolah di luar kota. Abang inget nggak pembicaraan kalian waktu itu? Abang nanya, aku bakal di titipin kemana karena Mama sama Papa harus nganterin Abang ke sana. Dan Mama malah bilang kalo aku di tinggal di panti juga bisa," Jelas Jeongin dengan mata menerawang.

"Waktu itu Mama hanya bercanda, Jeongin," ucap Hyunjin dengan suara tercekat. Lelaki itu ingin menangis mengetahui fakta kalau adiknya lah yang membuat mereka harus berada di panti.

"Udah aku bilang, aku sakit hati. Karena aku sayang dan nggak mau jauh sama Abang. Aku bunuh mereka, dengan kedua tangan aku sendiri," ucapnya menutup cerita.

"Kak Yuqi, ayo bunuh aku," ucapnya tenang. "Meskipun Abang nggak mau, kakak harus tetap bunuh aku karena kalau aku hidup, 'dia' bakal nyuruh aku bunuh orang lain lagi dengan ancaman bakal nyakitin Abang."

Rumah Kosong Sembilan (009)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz