14. The Other Old Demon

8.3K 1K 113
                                    

14.

The Other Old Demon

Erson menggigit kuku-kuku jari. Dahi mengerinyit dalam. Pandangan mata tertuju pada derik api perapian yang temaram, membentuk bayangan besar dirinya berupa gambaran hitam dengan siluet sayap di belakang punggung.

Cuaca di luar jendela terlihat tidak bersahabat. Purnama tertutupi dengan awan lebat juga rintik-rintik hujan dari badai yang sejak beberapa hari lalu tidak juga reda. Setidaknya, suara petir yang menyala-nyala, juga kilat yang menyambar, menghilangkan suara bisik-bisik yang bersilewaran di telinganya.

Suara para Demon yang tidur.

"Gerbang Kematian Terbuka..."

"Malapeta..."

"Apakah itu kabar baik atau kabar buruk?"

Di antara suara-suara itu terdengar suara tawa lain. Suara anak kecil. Suara yang biasa terdengar di taman bermain. Atau di padang rumput. Begitu bersemangat.

Semakin lama, suara itu semakin kencang, menutupi suara bisikan para Demon. Erson bahkan melihat di balik derik api, seperti sebuah gambaran bahwa ada seorang anak kecil berlari di sana.

Anak kecil itu tidak terlihat wajahnya, tampak seperti anak berusia delapan tahun. Rambutnya panjang menjuntai indah. Senyumannya lebar. Di tangannya dia memegang bunga dari berbagai macam dengan kelopak yang berjatuhan perlahan ketika dia berlari menghindari anak-anak lain yang mengikutinya dari belakang.

Kedua kaki kecil itu melompati bunga-bunga dan rerumputan, mengenakan sepatu dari dedaunan. Saat dia lewat, bunga-bunga itu seakan mengembang dan bercahaya dengan sendirinya. Dia berputar, meminta yang lain mengikutinya.

Namun, tidak lama dia berhenti melangkah. Dari belakang, Erson melihat punggung anak kecil itu. Dia hanya mengenakan pakaian putih sederha yang menunjukan kedua lengannya yang kecil, berukir sesuatu yang tidak dikenal Erson.

Citra itu membesar perlahan, menunjukan sesuatu yang ditonton anak itu.

Di hadapan anak kecil itu, dua orang tengah berjalan di kejauhan. Keduanya pria. Pria yang satu tinggi berambut perak pendek dan tengah tersenyum. Kedua tangan ada di belakang punggung. Sedang satu lagi berambut emas panjang, dihiasi dengan ikatan emas di dahi, mengikuti pria di depannya dengan wajah merah padam dan matanya berkilat penuh pemujaan pada pria di hadapannya.

Erson mengenal keduanya.

Frix dan Abdiel.

"Dad."

Citra di perapian menghilang, hanya menunjukan derik api perlahan yang tidak berbentuk. Mengerjap, Erson berbalik, mendapati Arzha mendekat padanya. Tubuh basah kuyup.

"Aku sudah coba menyelidiki sekitar Red Moon. Namun tidak menemukan tempat lain yang mencurigakan selain--apakah kau baik-baik saja, Dad?" Arzha melihat Erson dengan dahi mengerut, sedikit penasaran dan khawatir.

Wajah Erson terlihat pucat dan sedikit kaget dengan pandangan menoleh ke sekitar, seolah mencari sesuatu.

Erson tersenyum kecil, "Aku baik-baik saja. Kau tadi ingin bilang apa?"

Arzha tampak tidak percaya, namun dia tidak mendesak lebih jauh. "Aku mencari di sekitar Red Moon bersama dengan Eryn, agar tidak mencurigakan. Kami tidak menemukan apapun." Sebuah handuk besar terbang dan mendarat ke kepala Arzha, menggosok kepala anak muda itu dengan kasar. "Hei, aku sedang berbicara serius di sini! Jangan menggangguku!"

Erson menatap puteranya dengan geli. Sebagai Demon paling muda di antara para Demon di kastil ini, dia amat disayang. Mereka dapat mendengar suara cekikikan dari kejauhan. Amat membuat bulu kuduk merinding, yang ketika masih kecil akan membuat Arzha menangis ketakutan. Namun, Arzha sudah terbiasa sekarang dan tahu bahwa para Demon senang sekali menjahilinya.

Alpha AddictedDonde viven las historias. Descúbrelo ahora