Suatu Minggu di Pagi Hari

69 4 0
                                    

Selamat pagi, kamu yang masih sanggup tersenyum setelah aku pergi.
Senyummu itu, tak mampu kupungkiri masih bisa membangunkan kupu-kupu dalam perutku, yang kukira telah lama mati.

Secangkir kafein pekat ini, tak pernah sepahit saat kusesap bersama celotehmu.
Juga rintikan hujan di jendela itu, tak pernah sedingin saat kudengar ocehanmu dulu.
Kini, semua gelap, pahit dan dingin. Meski kau di sini, sibuk mengocehkan sosok gadis yang tengah kau puja, di depan mataku.

Aku terlalu naif mengira kau merindukanku, saat telponmu mengganggu hibernasiku di Minggu pagi. Rupanya, kau hanya ingin mengelukan ia yang menurutmu amat memesona.
Apa kau tak melihat, aku tidak cukup kuat melihatmu memandang berbinar pada makhluk pesolek itu?
Ah, sepertinya kau sudah buta tertutup bedak tebal gadis itu.

Aku kembali menyesap kafein panas itu, berharap kau mengingatkanku akan penyakit jantungku seperti dulu. Sayang, aku hanya bunuh diri, karena kau sama sekali tak peduli.

Aku salah, kau benar-benar sudah jauh melangkah. Tidak sepertiku yang masih terpancang memandangmu sebagai satu yang kupuja.

Tolong, usirlah aku. Jangan lagi menemuiku. Agar aku tidak lagi merasa kau butuhkan. Mungkin dengan begitu aku bisa pergi dengan sedikit rasa tenang.

🍁🍁🍁

Tentang Rasa [PRIVATE END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang