• TPM|17 •

10.9K 543 36
                                    

Axel terdiam diri menatap tubuh putranya yang terbaring di kasur. Sebagai orang tua tentu saja Axel merasakan sedih. Apalagi tentang dendam yang seharusnya tertuju kepada dirinya tapi justru Davren lah yang terkena imbasnya.

"Untuk kedua kalinya kebahagiaanmu terrenggut! Tapi untuk kali ini Daddy tidak akan membiarkan orang-orang merenggut kebahagiaanmu." gumam Axel pelan.

Axel keluar dari dalam kamar Davren. Ia menutup pintu dengan pelan. Saat dirinya membalikkan tubuh ia di kejutkan dengan Valya yang berdiri di ujung tangga.

"Ada apa?" tanya Axel berjalan menghampiri Valya.

"Davren bagaimana?" tanya Valya pelan. "Apa dia sudah sadar?"

Axel menggeleng. "Belum! Biar saja dia istirahat! Nanti bawakan dia air jeruk nipis hangat!"

Valya menganggukkan kepalanya. "Aku akan buat nanti!" Valya menghela nafas pelan. "Mommy tadi menghubungiku."

"Lalu?"

"Mommy bilang, Daevon mengamuk karena ingin bertemu dengan teman-temannya."

"Ya sudah biarkan dia bertemu dengan teman-temannya!"

Valya menggeleng. "Mommy melarangnya! Setelah kita sampai di Spanyol kita disuruh bertemu dengan Mommy."

Axel mengangguk. "Baiklah! Aku harus menemui Daddy."

"Ya sudah! Hati-hati!"

Axel tersenyum ia mengecup bibir Valya singkat dan langsung melangkah pergi. Sedangkan Valya langsung berlari ke bawah untuk membuatkan air.

Valya membuka pintu dan melihat Davren yang sedang terduduk menyender pada kepala kasur. Ia menaruh nampan berisikan gelas di nakas lalu duduk di pinggir kasur.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Valya memegang tangan Davren.

"Pusing!" jawab Davren meringis.

Valya mengambil gelas dan menyodorkannya kepada Davren. "Minumlah, agar kepalamu tidak pusing lagi!" ucap Valya.

Davren mengangguk dan mulai meminum air yang di berikan oleh Valya.

"Abiskan! Setelah itu kau mandi!" lanjut Valya tersenyum.

Davren memanggutkan kepalanya, ia menyerahkan gelas itu kepada Valya dan kembali menyenderkan kepalanya ke kepala kasur. Davren memejamkan matanya, tangannya memijat pelipisnya yang terasa sangat pusing.

"Semalam siapa yang mengantarku pulang?" tanya Davren pelan.

"Rama!" jawab Valya menatap Davren lekat. "Apa yang membuatmu lari ke minuman?"

Davren mengangkat bahunya tidak tahu. Ia membuka matanya dan saat itulah matanya bertubrukkan dengan mata Valya.

"Apa aku tidak berhak bahagia?"

Valya tersenyum. "Kata siapa kau tidak berhak bahagia? Dav, setiap orang berhak untuk berbahagia."

"Lalu kenapa aku tidak pernah bahagia? Saat aku bahagia tapi justru tidak bertahan lama?"

"Kau tahu? Di balik semua ini pasti akan ada kado terindah! Mungkin bukan sekarang bahagiamu, tapi bisa saja di kemudian hari. Percayalah kebahagiaanmu nanti akan jauh lebih indah!"

"Kapan?"

"Suatu hari nanti!"

Davren menegakkan tubuhnya dan langsung memeluk tubuh Valya erat tanpa disadari oleh Valya, Davren menangis dalam diam.

Valya mengusap punggung putranya, ia tahu bahwa Davren menangis karena Valya dapat merasakan bajunya yang basah.

"Aku mencintainya!" lirih Davren pelan. "Aku mencintainya Mom."

The Perfect Match [SUDAH DI BUKUKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang