• TPM|7 •

13.3K 645 52
                                    

Barcelona, Spanyol.

Dea termenung di dalam kamarnya. Semenjak sampai di Spanyol dirinya memang memilih untuk mengurung diri. Enggan bertemu dengan siapapun terkecuali Valya. Dea kesal dan marah kepada Daevon dan Axel karena tidak berpamitan kepada Davren. Ia memang tidak tahu apa yang terjadi di masalalu karena dirinya yang pada saat itu masih balita. Tapi, bukankah kejadian dimasalalu dapat di lupakan. Mengingat Davren membuat Dea menangis merasakan sakit atas penderitaan sang Kakak.

Dea tidak tahu mengapa Davren masih dapat tersenyum ketika berjauhan dengan keluarga. Mungkin jika Dea yang berada di posisi Davren maka dia akan memilih jalan untuk membenci dan melupakan anggota keluarganya. Hidup berjauhan tanpa dukungan dari orang tercinta sungguhlah berat. Dea merasakan bangga kepada kakaknya walaupun berpisah dengan keluarga tapi kakaknya masih bisa berdiri dengan kakinya sendiri.

Suara ketukan dari luar menyadarkan Dea dari diamnya. Suara Daevon membuat Dea enggan beranjak. Ia merasa marah karena Daevon justru membenci Davren, padahal seharusnya Davren lah yang membenci Daevon. Begitulah pikiran Dea. Tapi, Davren sama sekali tidak membenci Daevon.

"Dea?!" panggil Daevon terus mengetuk pintu kamar. "De, buka pintunya."

TOK TOK TOK!!

"De, Daddy memanggilmu!"

Dea menyerka air matanya, walau merasa malas tetapi ia tetap membukakan pintu bahkan dia melewati Daevon tidak peduli akan panggilan dari Daevon.

Dea masuk ke dalam lift memencet angka lantai satu tempat biasa semua keluarga berkumpul. Kadang Dea merasa sedih disaat berkumpul itulah hanya sosok Davren yang tidak ada.

TING!!

Pintu lift terbuka, Dea bergegas keluar dan menghampiri Axel yang sudah duduk bersama Valya.

"Duduk! Daddy, ingin bicara dengan kamu." ucap Axel tegas. "Kenapa mengurung diri?"

Dea menghempaskan bokongnya di hadapan Axel. Menatap sang Daddy dengan tatapan malas. "Dad, pikir?"

"Marah tanpa alasan, mendiamkan Daddy dan Kak Daevon?"

"Aku marah mempunyai alasan!"

"Apa alasanmu? Mengurung diri dan tidak mau makan. Ada apa denganmu heh?"

"Kenapa Daddy bertanya kepadaku? Kenapa tidak Daddy tanyakan kepada diri Daddy sendiri."

"Daddy bertanya kepadamu Dea, kau hanya perlu menjawab pertanyaan Daddy!"

Dea berdiri menatap Axel lirih. "Karena aku marah dengan Daddy, aku marah dengan kak Daevon! Kalian bersikap seolah kak Davren orang lain." ucap Dea tertahan. "Bahkan dengan kejam kalian tidak melihat kak Davren sama sekali. Padahal jelas disana ada kak Davren!"

Daevon yang berdiri menatap punggung adiknya lalu tersenyum miring. "Jangan bodoh, mendiamkan kakak dan Daddy hanya karena dia." ketus Daevon.

Dea membalikkan tubuhnya menatap Daevon. "Dia? Dia itu kakakku, kembaranmu." teriak Dea. "Kau tidak seharusnya membenci kakak, yang seharusnya di benci itu kau dan Daddy!"

"Dea----"

"Aku benci Daddy, aku benci kak Daevon! Kalian tidak sayang dengan kak Davren." sambar Dea lirih.

"Apa dia meracuni otakmu? Berani sekali kau berbicara seperti itu kepada Daddy dan kakak?!" bentak Daevon.

"Dengar kakakku tidak pernah meracuni pikiranku." ucap Dea penuh penekanan.

"Daevon? Dea? Sudah cukup!" lerai Valya. "Ayo duduk. Daddy sedang ingin bicara."

"Kenapa kalian jahat? Kenapa tidak ada satupun dari kalian yang berada di pihak kak Davren?" teriak Dea menatap keluarga. "Aku bersyukur jika kak Davren melupakan kalian sama seperti kalian yang melupakan kak Davren, bahkan kalian tidak pantas mendapatkan maaf dari kak Davren." lanjut Dea berlari masuk ke dalam lift.

The Perfect Match [SUDAH DI BUKUKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang